Minggu, 03 Juni 2012


(Bahan kajian kuliah GEOLOGI DAN SEDIMENTASI angk 2011 Prodi Kelautan)
PENGARUH KARAKTERISTIK LAUT DAN PANTAI TERHADAP PERKEMBANGAN KAWASAN KOTA PANTAI

Dr. Ir. Wahyoe Soepri Hantoro APU, Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Jl. Sangkuriang Bandung 40135

1.      PENDAHULUAN

      Benua Maritim Indonesia terletak diantara benua Australia dan Asia serta membatasi Samudra Pasifik dan Hindia (Gambar 1-1). Busur kepulauan Indonesia merupakan untaian pulau di suatu perairan dalam maupun dangkal, terdiri dari 17.805 buah pulau yang memiliki garis pantai sepanjang lebih dari 80.000 km.  Kepulauan terbentuk oleh berbagai proses geologi yang berpengaruh kuat pada pembentukan morfologi pantai, sementara letaknya di kawasan iklim tropis memberi banyak ragam bentang rupa pantai dengan banyak ragam pula tutupan biotanya.
            Penggolongan pantai dirasakan tidak cukup dengan hanya berdasar bentang rupa dan tutupan biotanya, namun perlu mempertimbangkan pula beberapa hal lain, seperti sumber daya yang mendukung disekelilingnya, gejala alam yang mengendalikan pembentukan
(genesa)nya serta perubahan yang mengiringinya khususnya dari pengaruh kegiatan manusia (antropogenik).
      Pengenalan melalui penggolongan pantai dari berbagai alasan ini dapat membantu pemahaman saling keterkaitan dari proses pembentukan pantai, biotanya sumberdaya alamnya, peruntukan hingga usaha konservasi dan pengelolaan berkelanjutannya.
      Memahami genesa seutuhnya suatu morfologi pantai, di atas mana kemudian kegiatan manusia tumbuh, akan dapat membantu dalam penataannya lebih lanjut sebagai kota yang bukan hanya saja nyaman dan aman karena terdukung kebutuhannya, namun juga tidak menelan sumberdaya sekitarnya. 

2. LATAR BELAKANG MASALAH

            Pesatnya pertumbuhan kota pantai sejak 10 tahun terakhir diikuti oleh sejumlah masalah, antara lain yang berkaitan dengan problem lingkungan dan keterbatasan sumberdaya (lahan, air, bahan konstruksi, dll.).
            Kota-kota pantai di Indonesia tumbuh dan berkembang dari awal dengan kesamaan fungsi. Perkembangan berikutnya diwarnai oleh keragaman berdasar fungsi kota, sebagai kota administratif, perdagangan, industri, atau campurannya. Perluasan kota mulai melampaui batas daya dukung lahan, fungsi alami lingkungannya terabaikan dan sumberdayanya terpakai berlebihan. Berlebihnya pengambilan sumber daya air tanah menimbulkan penurunan muka tanah (kompaksi) dan air tanahnya sendiri, sementara kemampuan resapan air meteorik jauh berkurang oleh tutupan bangunan dan jalan. Sedikit penyimpangan gejala alam - bahkan tanpa penyimpanganpun - pada perioda tertentu, gejala alam dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Rusaknya kawasan hulu tangkapan hujan menyebabkan tidak terkendalinya aliran permukaan yang berdampak pada air bah dan banjir. Saat bersamaan antara terjadinya curah hujan berlebih dengan saat terjadinya pasang naik maksimum menyebabkan banjir, akibat tertahannya air sungai masuk ke laut, atau saat pasang maksimum dengan badai musim (barat) menyebabkan erosi pada pantai yang sudah tidak terlindungi (bakau) dan mengalami kekurangan asupan sedimen. Pengerukan sedimen laut mengubah titik hempasan enersi maksimum gelombang yang berdampak pada erosi pantai, terlebih bila tidak ada lagi pelindungnya, seperti bakau dan atau terumbu karang. Kenaikan suhu atmosfer global yang akan diikuti oleh naiknya paras muka laut adalah salah satu ancaman serius walau masih memerlukan waktu cukup lama (skenario GCM: 1-4°C) 

3. FISIOGRAFI & IKLIM

            Wilayah Indonesia memiliki perairan laut dalam yang dialasi kerak samudra dan laut dangkal tepian dari paparan benua. Paparan tepian kontinen memiliki kedalaman kurang dari 100 m, merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai cekungan busur dalam dan inti kraton yang relatif stabil. Sejumlah sungai besar bermuara ke perairan ini, dan merupakan bagian dari sistim aliran sungai purba (Gambar 3-1). Kondisi demikian memberi sifat dari kawasan ini berpantai landai, bahkan di pantai timur Sumatra dan selatan Irian, ditandai oleh kawasan ber-rawa (wetland) limpahan banjir dengan rataan tebal bakau yang berfungsi pula sebagai pelindung pantai. Hal sama ada pada pesisir barat dan selatan Kalimantan, namun sedikit berbeda di pesisir utara Jawa yang umumnya merupakan bagian dari kompleks sistim endapan volkanik kaki gunung api, kecuali jalur Rembang-Tuban yang berupa perbukitan dengan pantai batu gamping. Pulau-pulau lebih kecil di jalur Sunda Kecil (Bali-Flores), terbentuk oleh untaian gunung api, memiliki pantai landai atau bertebing dari endapan volkanik di perairan laut dalam. Hal sama pada pulau-pulau di Laut Banda, laut dalam yang beralas sisa dari kerak samudra. Perairan hangat menunjang tumbuh luasnya terumbu karang di pulau-pulau tersebut, yang sama fungsinya dengan bakau, melindungi pantai dari hempasan gelombang.
Perairan laut dalam di jalur tunjaman dari Sumatra hingga Jawa-Bali, Irian Jaya Utara, Sulawesi Utara dan Ceram memiliki bentang alam curam pada pesisirnya, namun adakalanya memiliki pesisir landai yang sempit dan berpasir karbonat hasil rombakan terumbu karang. Pesisir dan pantainya terbuka dari hempasan gelombang kuat perairan samudra luas (Samudra Pasifik, Laut Zulu, Laut Banda, dll). Kawasan ini juga berada pada pengaruh gerak tegak (vertikal) tektonik. Pesisir di bagian busur yang mengalami tumbukan (Sumba-Timor) juga ditandai oleh pantai curam dari batuan keratan tektonik di pesisir selatan, namun dicirikan pula oleh gerak pengangkatan (0,5 – 1 mm/th) yang memberikan bentang alam teras terumbu karang terangkat di pesisir utara pulau-pulau.
            Secara geografis, benua Maritim Indonesia terletak pada suatu kawasan yang rentan namun berkaitan dengan mekanisme perubahan iklim global. West Pacific Warm Pool (Perairan Hangat Pasisk Barat) dan pembubungan (upwelling) di Samudra Hindia saling berpengaruh dengan cuaca di Indonesia. Arus lintas global (Arlindo) dari Pasifik ke Samudra Hindia melalui perairan Indonesia, memberi pengaruh timbal balik pada cuaca lokal dan global. Mekanisme iklim antara Asia dan Australia mengatur musim kering dan basah di Indonesia. Beberapa gejala dan regulator iklim dan cuaca penting global melibatkan sistim cuaca di Indonesia, antara lain: La Nina, El Nino, ENSO dan yang juga tak kurang penting adalah apa yang disebut sebagai "Indian Ocean Dipole" yang berdasar data proksi, terbukti berperan cukup penting dalam mengontrol cuaca di lintas Samudra Hindia Barat dan Timut  (Hantoro et.al., 2001). Gejala-gejala iklim tersebut berikut penyimpangan (anomali) nya bersama dengan gejala geologi membentuk dan menghasilkan bentang pantai sekarang melalui proses yang adakalanya di saat ini diselingi oleh tekanan lingkungan akibat kegiatan manusia. Kawasan yang memiliki curah hujan tinggi dalam waktu lama menghasilkan bentang pantai yang berbeda dibanding dengan kawasan kering. Gelombang dan arus yang arah dan kekuatannya berubah seiring putaran musim mengontrol sedientasi pantai dan pertumbuhan terumbu karang.      

4. GEOLOGI INDONESIA

            Benua Maritim Indonesia terletak pada dan terbentuk oleh pertemuan dari beberapa kerak dan lempeng benua yang bergerak saling mendekat, yaitu lempeng Australia, Pasifik dan Eurosia. Batas tumbukan antar lempeng menghasilkan evolusi geologi, antara lain ditandai oleh penunjaman lempeng Indo-Australia di jalur Sumatra hingga Jawa-Bali (Moore et al., 1980) dengan kecepatan bervariasi (7-7,5 cm th-1(McCaffrey, 1991). Tunjaman menyudut terhadap poros dan dangkal di sisi Sumatra menghasilkan gugusan pulau busur luar (Nias, Menatawai, Enggano) dan sesar Semangko, sementara tunjaman tegak lurus dan lebih terjal berlangsung di selatan Jawa-Bali. Penunjaman kerak diikuti oleh penebalan magma yang menghasilkan kegiatan volkanisma dan gerak vertikal (pengangkatan & penurunan).
sebagai salah satu ciri konvergensi yang bersifat sebagai gerak tumbukan, yang menghasilkan keratan-keratan struktur tektonik sangat kompleks. Kerak tertunjaman dari batuan berkerapatan lebih kecil di bawah batuan berkerapatan lebih besar menghasilkan (isostasi) gerak vertikal lebih kuat berupa pengangkatan dengan kecepatan mencapai 1 mm/th di Alor dan 0,5 mm/th di Sumba .
            Konvergensi yang melibatkan gerak lempeng pasifik dan Australia menghasilkan sesar mendatar dan pengangkatan lemah di pesisir utara Papua, namun pengangkatan di pegunungan Jayawijaya mencapai 2 mm/th. Konvergensi di bagian ini menghasilkan pula bentuk jalur tunjaman yang berarah barat timur di Timor berbelok, setelah Tanimbar, menuju utara dan ke barat di perairan Ceram. Di segmen ini, pengangkatan akibat gerak tektonik menempatkan endapan gamping terumbu muncul menumpang diatas batuan volkanik dan batuan terobosan di perairan Maluku. 

5.      VARIASI PARAS MUKA LAUT: GEJALA TEKTONIK DAN EUSTATIK 

              Garis pantai adalah rata-rata batas antara air dan darat saat pasang dan surut. Wilayah pesisir adalah kawasan dimana proses laut dan darat masih saling berpengaruh. Dengan demikian, garis atau wilayah ini, dapat bergeser seiring perubahan paras muka laut. Pergeseran tersebut dapat terjadi oleh susutnya permukaan air laut atau gerak vertikal dari darat (proses tektonik, dll). Sementara itu, perubahan paras muka laut disebabkan oleh berubahnya volume air atau berubahnya volume cekungan samudra. Pelelehan atau penumpukan (tudung) es di wilayah kutub (eustatik) adalah salah satu penyebab utama berubahnya volume air laut seiring perubahan cuaca global . Gejala pemekaran samudra atau penurunan cekungan adalah penyebab perubahan volume cekungan. 

Gejala estatik relatif berulang pada perioda lebih singkat dibanding kurun waktu geologi yang mengubah volume cekungan lautan (pemekaran samudra). Semua hal tersebut adalah gejala yang mengendalikan proses berubahnya posisi garis pantai.  
              Seiring dengan variasi paras muka laut eustasik, pada masa puncak perioda selang zaman es (interglasial) dan zaman es (glasial), terjadi perubahan tutupan muka bumi yang berada pada jangkauan amplitudo variasi tersebut. Posisi paras muka laut pada puncak interglasial - sementara ini dapat diterima oleh para ahli - berada pada posisi 5 m di atas posisi muka laut saat ini. Berdasar jejak yang ditinggalkan oleh lingkungan pantai yang ditemukan berada pada kedalaman hingga -145 m, dapat diduga, paling tidak turunnya paras muka laut sedikit kurang rendah dari posisi tersebut. Koreksi dapat dilakukan dengan persamaan:
                                                            D = h (1 + rw/rm)     

dimana           D       = kedalaman atau posisi terkoreksi paras muka laut
                  h        = tinggi kolom air
                  rw     = densitas air
                  rm     = densitas alas cekungan/ batuan dasar

      Koreksi detil dengan variasi perubahan paras muka laut berdasar regresi linier data isotop dari foram bentos Uvigerina senticosa: (Hantoro, 1992)
                  Y= d18O =-0,01036 X + 3,742, dimana  x = h,

                                                                                        -Y + 3,742
                                                            D = (1 + rw/rm —————
                                                                                         0,01036

     Dari padanya dapat diartikan bahwa jejak paras muka laut yang ditemukan pada kedalaman tertentu saat genang laut seperti saat ini, pada dasarnya ketika susut laut berlangsung, ia akan berada pada posisi lebih tinggi akibat oleh adanya mekanisme pelentingan lithosfer (isostatic rebound) oleh terbebasnya pembebanan air.
     Turunnya paras muka laut berakibat pada keringnya tepi paparan kontinen (Sahul dan Banda). Luas daerah yang mengalami perubahan tersebut mencakup kurang lebih 4.074.836 km2 (Gambar 5-a)(Hantoro & Handayani, 1993, Wang et al., 1996).
     Daratan baru tersebut diperkirakan segera ditutupi oleh tumbuhan hutan tropis dataran rendah dan rawa. Sejumlah perubahan gejala alamiah segera menyusul kemudian akibat  perubahan tergenang dan keringnya paparan ini, antara lain menyangkut (Hantoro et al., 1993):
     -   Evolusi wilayah pesisir membentuk karakter pantai
     -   Perubahan neraca geo-hidrologi yang mencakup wilayah luas paparan Sunda dan Sahul
     -   Neraca produksi primer total di kawasan kepulauan maritim (lautan dan daratan)
     -   Energi total matahari yang terpantul atau terserap menjadi cadangan di darat atau lautan
     -   Mekanisme putaran bahang antara lautan, atmosfer dan daratan
     -   Mekanisme putaran arus udara dan kelembabannya akibat perubahan mekanisme putaran bahang.
     -   Mekanisme dan produksi proses pelapukan batuan, pengangkutan sedimen dan penegndapan sedimen
     -   Mekanisme putaran arus samudra (permukaan maupun laut dalam)
     -   Produksi karbonat di paparan tepi kontinen
     -   Migrasi flora, fauna dan manusia purba di kepulauan maritim
     -   Dan lain-lain mekanisme proses alamiah berikut neracanya.

     Suatu hal perlu dipikirkan seberapa besar perubahan beban (kolom) air hingga setinggi 100-150 m ini terhadap rheologi cekungan dan lebih jauh lagi; pengaruhnya kemudian pada mekanisme dinamika kulit bumi antara lain proses pelentingan atau yang tercermin kemudian pada pola struktur yang berkembang di kawasan pesisir.

5.      EVOLUSI KOTA PANTAI DI INDONESIA 

            Puncak zaman es ditandai oleh susut laut yang mencapai  – 145 m dibawah muka laut sekarang, zaman ini berakhir pada ± 14.000 tahun lalu (BP), diikuti dengan mulai naiknya paras muka laut (Gambar 6-1)(Hantoro W.S, 1992). Walaupun belum ditemukan situs pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi tempat tinggal sementara manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat sempit menuju lokasi berikutnya (Gambar 6-2)(Hantoro W.S., 2001). Tempat inilah yang dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya pada zaman Holosen ± 6.000 tahun (BP) pada ± 3 m lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk ke dalam hilir sungai. Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu (hasil) hutan lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan kelompok lain. Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudra sudah lebih baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu menyeberangi Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan astronomi.
 
Pemukiman di darat (pedalaman) lebih cepat berkembang dan menjadi penting karena pertanian merupakan kegiatan terpenting disaat itu serta lebih aman dan nyamannya pedalaman (kering), sementara pemukiman pantai masih belum dianggap penting karena sifatnya hanya sebagai pemukiman sementara atau titik bertolak atau berniaga dan tidak nyaman dihuni. Sebagai bandar niaga, ia menghubungkan kotaraja dengan perdagangan Asia Tenggara (Cina, Campa, dll), menyisakan kemudian tinggalan tempat ibadah (kelenteng, dll). Keadaan ini berlangsung hingga pada masa puncak zaman kerajaan Hindu, disusul kemudian oleh lebih berkembangnya hubungan maritim di awal penyebaran Islam, yang ikut pula mengembangkan pemukiman pantai sebagai bandar, pusat pendidikan (pesantren) dan pasar yang lebih penting dari ibukota kerajaan, selain tumbuhnya bandar baru diluar jangkauan naungan kekuasaan kerajaan. Masa penyebaran dan pemantapan pengaruh kerajaan Islam saat tersebut dapat dianggap sebagai masa gemilang perkembangan kota pesisir berikut kegiatannya seiring meningkatnya kegiatan pelayaran dan perdagangan antar pulau (hasil bumi dan ternak, rempah-rempah, sutera, porselin, dll.). Ruang kota memilih di sisi muara di perairan terlindung di tempat mana pusat niaga dibangun berikut sarana ibadah (masjid, pesantren). Ciri demikian ditemukan di hampir seluruh tempat di Indonesia.
Kedatangan pedagang Eropa dengan cara pemaksaan monopoli memakai kekerasan, mulai menekan atmosfer perdagangan bebas, berakibat pula berubahnya pola sosial hingga perkembangan kota pantai. Retensi penduduk lokal dan pedagang lama ditandai oleh penanganan represif perusahaan dagang Eropa yang kemudian melanjutkannya dengan menguasai secara penuh kedaulatan kerajaan lokal. Pendirian benteng yang dibuat di tempat strategis menandai pergeseran pola pengembangan kota pesisir. Kota dengan dataran pantai luas lebih dianggap aman dengan kelengkapan benteng sebagai pertahanan dari pada kota pantai berbukit (Jakarta, Makassar, Bengkulu, Cilacap, dll). Di pulau-pulau kecil, sistim pertahanan benteng di bukit juga diterapkan untuk menghadapi serangan dari laut (Ambon, Banda, Saparua, dll) sambil mempertahankan monopoli dan menguasai perdagangan rempah (cengkeh, pala, dll.). Semakin kokohnya kekuasan penjajah, dicirikan oleh perluasan kegiatan pembangunan kota keluar dari lingkungan benteng seiring pembukan pertanian/perkebunan (tebu di dataran rendah dan teh, kopi, kina,  dll di dataran tinggi). Sejumlah kota besar pantai di Indonesia berkembang dengan ciri kota Eropa dengan sedikit penyesuaian pada arsitektur dan tata ruang menurut kondisi lingkungannya. Di sejumlah kota pantai berdataran sempit, perluasan mulai merambah bukit, dicirikan oleh pendirian tempat ibadah (gereja) dan tempat tinggal, sementara bandar dan kegiatan niaga masih berpusat di sekitar muara (Sibolga, Semarang, Menado, Kupang, Ambon, dll). Bentuk kepulauan wilayah Indonesia dengan satu-satunya transportasi laut yang dianggap aman dan efisien menyebabkan kota pantai lebih berkembang di masa tersebut dan pendudukan kolonial Belanda dalam waktu sangat lama memberi warna kuat ciri kota pantai. Masa pendudukan Jepang tidak memberikan perubahan pada kota-kota pantai keciali meninggalkan bunker atau benteng kecil di beberapa tempat di perbukitan sebagai upaya pertahanan.
            Satu dua dekade setelah kemerdekaan, saat konsolidasi kedaulatan republik, tidak banyak meninggalkan perubahan kota pantai yang masih kental dicirikan atmosfer kota kolonial. Tiga dekade akhir abad 20 mulai terjadi perubahan pesat ruang wilayah kota pantai. Terkesan terjadinya lepas kendali dalam pengelolaan kota pantai sehingga batas daya dukung lingkungan kota pesisir sudah sangat jauh terlampaui, dengan rupa dan akibat yang saat ini bisa kita lihat dan rasakan.


7. GENESA DAN TIPOLOGI PANTAI


            Kepulauan Indonesia terbentuk oleh proses (endogen) rumit geologi dari gejala konvergensi lempeng (litosfer) menghasilkan bentang alam (fisiografi) yang sangat kompleks. Demikian halnya dengan pantai pulau-pulaunya, terbentuk seiring evolusi geologi dengan ciri masing-masing berdasar proses dan mandala geologinya, yang kemudian terlihat pada keragaman jenis batuan, struktur dan kelurusan, lereng pantai dan perairan bentuk muara sungai dan lain-lain bagian bentang pantai. Kondisi iklim/cuava (atmosfer) dan laut (biosfer) mengiringi evolusi tersebut memberi pengaruh (eksogen) pada proses pembentukan bentang alam. Kegiatan manusia (biosfer) mulai ikut berpengaruh pada proses evolusi mengubah bentang alam melalui upaya (anthropogenic) mengubah lingkungan untuk kepentingannya sejak zaman Anthroposen.
            Berdasar kenyataan demikian, klasifikasi wilayah pesisir dan pantai di Indonesia akan lebih sempurna bila didasarkan atas beberapa hal yang menyangkut proses pembentukan (genesa) dan perubahannya yang melibatkan unsur-unsur di atas. Berdasar klasifikasi ini, dapat lebih mudah mengenali sifat dan potensi hingga kerawanan yang dimilikinya, yang bermanfaat sebagai dasar dalam upaya pengelolaannya berdasar keseimbangan dan kelestarian, di masa yang akan datang.
      Suatu pengkelasan pantai berdasar genesa, morfologi serta kondisi perairannya diusulkan sebagai berikut, mengikuti kriteria-kriteria:

7. 1.     Kendali Tektonik:
          
            Proses tektonik akibat konvergensi gerak lempeng dan kerak adalah sebagai kendali utama proses yang menghasilkan geologi dan bentang alam pesisir dan pantai saat ini.  

      a.   Penunjaman (Subduction):                 
           Gerak relatif kerak Samudra Hindia dan benua Australia ke utara menghasilkan penunjaman di bawah Sumatra, Jawa dan sebagian Sunda Kecil (NTB). Penunjamann dicirikan oleh palung dalam samudra, lereng depan curam, jalur busur luar dan jalur volkanik. Pesisir dan pantai jalur ini umumnya dibentuk oleh perbukitan terjal dengan tebing lereng depan curam tanpa tutupan tumbuhan. Pantai umumnya menerima langsung hempasan gelombang dan erosi, sementara teluk terbentuk dikontrol oleh struktur geologi yang rumit dan batas antar litologi. Pasir pantai terbentuk di dataran sempit hasil akumulasi sedimen sungai. Terumbu karang tumbuh di perairan yang terlindung di pantai pulau utama dan pulau-pulau kecil.         
Ciri morfologi pantai dan pesisir lainnya adalah:
-          Tebing curam perbukitan pantai
-          Erosi dan abrasi kuat pada tebing curam
-          Pantai datar berpasir relatif lurus dengan asupan sedimen dari sungai kadang membentuk bukit pasir (sand dune) dengan selingan rawa.
      -     Pola aliran sungai hampir tegak lurus pantai dengan gradient tebing curam  lambah sungai
      -     Kegempaan kuat dan sering kejadiannya, adakalanya diikuti tsunami 
      -     Penenggelaman bergantian dengan pengangkatan pantai atau terumbu karang mengiringi proses penunjaman
       
           Curah hujan tinggi dan gejala geologi di kawasan ini memberikan  bentang alam dengan tebing dan lereng curam.  Contoh kota pantai di jalur ini adalah: Sibolga, Padang, Bnegkulu, Cilacap, dll.         
 
      b.   Tumbukan (collision):
           Gerak lempeng yang saling bertumbukan menghasilkan batuan yang tercampur aduk (chaotic) yang terkerat kuat oleh struktur geologi patahan dan rekahan. Proses tumbukan dapat diamati hasilnya di kawasan antara Flores hingga Wetar sebagai sisa jalur volkanik dengan ciri pantai kaki volkanik dengan tutupan batu gamping terangkat, Sumba sebagai busur luarnya dengan morfologi pantai teras terumbu terangkat, dan jalur Sabu-Rote dan Timor sebagai jalur tumbukan dengan ciri pantai curam serta singkapan batu gamping terangkat dengan terobosan lumpur endapan tua. Contoh kota di jalur ini adalah: Kupang, Waingapu, Baa, dll
             
      c.   Gerakan Lateral  :
           Jenis konvergensi yang menghasilkan batas pertemuan dari lempeng yang saling geser ini di Indonesia tidak begitu mudah dilihat gejalanya di daratan, kecuali di kepala burung Irian Jaya yang menghasilkan sesar geser Sorong dengan pegunungan terjal menghadap langsung ke laut membentuk pantai curam berbukit. Patahan dan rekahan menandai jalur ini menyebabkan batuan pantai bertebing curam bertambah rentan longsor dan terabrasi. Pantai di jalur ini umumnya sangat labil dan rawan bencana, mengingat kegempaan juga relatif tinggi (gempa dan tsunami di. P Biak). Contoh kota di mandala ini: Biak, Manokwari, Sorong.

      d.   Kraton Stabil :
           Inti atau kraton di Indonesia ditandai oleh hampir absennya kegempaan, sebagaimana dicatat di Kalimantan (barat dan selatan) yang dianggap sebagai kraton dari busur kepulauan Indonesia saat ini. Stabilnya kawasan ini dari kerjaan gejala geologi menyebabkan gaya eksogen (cuaca, dll) mengontrol lebih jauh dengan gejala denudasi atau pendataran (peneplain) dari bentang alam pegunungan tua menghasilkan wilayah pesisir sangat luas yang ditempati rawa dataran (lahan) basah (wet land) dari bentang alam hilir yang telah lanjut. Dataran basah ditutupi rawa atau hutan tropis basah. Estuari terbentuk lebar di bagian yang memiliki beda pasang tinggi, yang pasang naiknya dapat dirasakan di pedalaman jauh dari muara. Rataan tebal bakau menutup pantai, menahan gempuran gelombang dan menangkap sedimen dari muara yang menyebar, menghasilkan akresi pantai. Contoh kota di jalur ini adalah: Pontianak, Banjarmasin.
     
      e.   Pantai terangkat dan tenggelam :
           Jenis pantai yang mengalami pengangkatan dan penuruan dapat ditemukan di berbagai pulau di kawasan yang saat ini berada pada jalur aktif tektonik yang menghasilkan gerak tegak, di jalur tumbukan atau penunjaman. Di darat, gejala ini terlihat di pantai yang bertutupan tumbuhan adalah tenggelamnya sebagian tumbuhan (Cassuarina sp, mangrove, dll) atau bentuk khusus terumbu karang yang menandai gejala ini (out side stepping) dan gejala erosi pantai. Adanya pengangkatan dapat terlihat dari bentuk undak teras pantai dan adanya akresi pantai sementara munculnya terumbu karang membentuk daratan merupakan tanda di bagian perairan. Penurunan daratan dapat diakibatkan oleh adamya kompaksi endapan di pesisir, atau memang ada gejala kenaikan permukaan air laut. Contoh kota di pulau ini adalah: Waingapu (Sumba), Tuah Pejat (Mentawai)
           
      f.    Volkanik:
           Jalur gunung api menempati suatu kelurusan, yang di pulau besar seperti Sumatra dan Jawa, hasil kegiatannya membentuk kerucut yang kakinya tidak mencapai pesisir (kecuali beberapa: Muria, Rajabasa, dll), namun di Sunda Kecil,  pulau volkanik relatif kecil dan memiliki gugusan gunung api yang muntahan kegiatannya mencapai pesisir dan masuk ke laut (Bali-Flores, Alor).
           Batuan padat dan keras hasil kegiatan volkanik membentuk tebing curam pantai pulau gunung api, diseling lereng landai kaki gunung berbatuan lepas dan pasir membentuk pantai sempit datar. Aliran lava atau lahar seringkali langsung masuk ke laut, membentuk lereng dasar laut dengan kemiringan dan jenis batuannya tergantung dari komposisi magmanya. Pantai sempit landai dengan sungai kecil disekitarnya memungkinkan bakau tumbuh, adakalanya bersisian atau menumpang di atas substrat pasiran dan terumbu karang. Kota-kota pantai di mintakat ini antara lain: Jepara, Denpasar, Larantuka, dll.


7. 2.     Pantai dan pesisir berdasar fisiografi kepulauan

      a.   Pulau/daratan menghadap ke arah samudera lepas :
           Pantai dan pesisir yang menghadap ke arah laut/samudera lepas ditandai oleh tebing perbukitan curam, pantai berbentang alam kasar, berbukit terjal menerima hempasan kuat gelombang. Pantai datar berpasir adakalanya menyelingi pesisir ini, terbentuk oleh endapan sedimen sungai. Jalur ini umumnya erat kaitannya dengan jalur tumbukan atau penunjaman. Gelombang besar merupakan bagian dari sistim gelombang samudra, namun tsunami adakalanya terjadi menyusul gempa kuat yang sering terjadi di jalur ini. Contoh kota di pesisir ini antara lain: Sibolga, Padang, Bengkulu, Cilacap, dst.

b.  Pantai – pesisir yang menghadap cekungan belakang (tepian paparan) 
           Cekungan belakang dari jalur konvergensi tektonik ditandai oleh paparan landai luas dengan alur sungai (dendritic) panjang dan dataran tangkapan hujan luas, mengalir berkelok-kelok melalui rawa dan dataran limpahan banjir, ke pantai berawa dan ber tutupan tebal bakau membentuk muara delta luas dengan pulau pulau delta di depannya. Jenis pesisir ini dijumpai di perairan timur Sumatra utara Jawa dan selatan Irian. Contoh kota yang mewakili dan berada di mintakat ini adalah: Lhokseumawe, Palembang, Jakarta, Semarang, dll.

c.  Pesisir menghadap tepian kontinen.   
           Indonesia memiliki dua tepian kontinen, Sunda dan Sahul yang ke arah mana beberapa pulau menghadapnya dengan ciri pantai landai dan sangat stabil dari gejala geologi. Dua paparan tersebut menyisakan bentang alam dataran saat sempat kering ketika susut laut hingga –145 m dari muka laut sekarang. Bentang alam saat susut laut memiliki kemiripan dengan bentang pesisir sekarang, ditandai oleh daerah limpahan banjir, rataan terumbu karang dan bakau serta endapan pasir pantai. Beberapa sisa bentang alam tinggian masih terlihat berupa pulau pulau di perairan ini (Senayang-Lingga-Bangka-Natuna-Karimata dll). Landai dan dangkalnya perairan seringkali menyebabkan kekeruhan akibat agitasi laut saat musim barat sulit hilang. Rataan tipis bakau menutup pesisir perairan. Sisa pematang pantai purba membentuk rataan tipis oleh endapan pasir kuarsa. Terumbu karang kurang pertumbuhannya di perairan ini yang umumnya ditandai oleh air keruh siltasi sedimen agitasi gelombang. Kota-kota yang mewakili antara lain: Tanjung Pinang, Pangkal Pinang, dll.

      d.   Jalur pulau busur luar: 
           Jalur pulau non volkanik busur luar terbentuk hampir menerus di barat dari pulau Sumatra menghadap ke lepas Samudra Hindia. Di bagian timur busur Sunda, busur luar terbentuk kembali sebagai pulau Sumba dan Sabu. Pulau-pulau tersebut terbentuk dari terangkatnya sedimen laut oleh proses penunjaman dan tumbukan lepeng, dicirikan oleh lapisan batuan yang terlipat membentuk perbukitan dan terpotong patahan. Adakalanya batu gamping terumbu karang ikut terangkat keluar membentuk perbukitan di pantai bertebing curam. Teluk terbentuk oleh struktur geologi, umumnya padanya bermuara sungai membentuk endapan pasir disekelilingnya atau tutupan bakau. Dangkalan akibat terangkatnya batuan, ditumbuhi terumbu karang yang di atasnya seringkali kemudian tumbuh bakau. Sedimen lepas atau keras terkomkakan dari endapan karbonat di pantai terbentuk dari hasil rombakan terumbu karang. Pulau-pulau di barat Sumatra mengalami gerak pengangkatan mengiringi kegempaan yang adakalanya diikuti tsunami, namun ditengarai pula adanya penurunan. Di Sumba dan Sabu, pengangkatan lebih dominan dan menerus menghasilkan undak teras. Kota-kota yang mewakili, antara lain: Muara Siberut, Waingapu, Seba, Baa, dll.

e.       Pulau gunung api:
Pantai pulau ini dicirikan oleh endapan bahan volkanik yang dimuntahkan hingga ke perairan membentuk pesisir pantai landai di bagian mana sering ditumbuhi bakau dan terumbu karang di perairannya. Endapan lahar atau lava sering mencapai rataan bakau dan terumbu, namun dapat segera tumbuh pulih kembali setelah 5-6 tahun kemudian. Pulau-pulau ini membentuk jajaran dari Bali hingga Flores. Pantai curam terbentuk oleh terobosan batuan volkanik atau batuan tufa lelehan dan lahar konglomeratan yang tersemenkan. Lembah sungai dalam di hulu berakhir pada muara yang berpantai landai pada pesisir datar, namun sering berupa muara sempit. Contoh kota yang mewakili mintakat ini antara lain: Denpasar, Mataram, Bima, Banda, Maumere, dll.

f.       Pulau kecil di laut dalam
           Guyot dan kerucut gunung api aktif banyak ditemukan di perairan Laut Banda, membubung naik dari kedalaman membentuk pulau yang terisolasi. Pulau-pulau ini dicirikan oleh lereng perairan curam, namun lereng atas dekat permukaannya sering dikelilingi oleh terumbu karang yang menempel pada batuan volkanik. Terumbu karang adakalanya terangkat membentuk undak sempit batu gamping karang dengan takik ombak, sebagai bukti adanya pengangkatan. Pantai sempit landai adakalanya ditumbuhi bakau. Contoh kota yang mewakili pemukiman di pulau ini antara lain adalah Banda.

      g.   Pulau-pulau kecil di paparan tepian kontinen. 
           Pulau terbentuk oleh tinggian batuan yang resistan dari kerjaan cuaca di kawasan geologi yang stabil bagian dari paparan kontinen. Perubahan paras muka laut lebih mengontrol evolusi morfologi perairan ini membentuk alur perairan dangkal yang ditutupi endapan pantai dan sungai purba. Dangkalnya perairan menyebabkan kekeruhan tidak mudah hilang, menyebabkan kualitas terumbu karang kurang baik namun endapan pantai di perairan tenang mengalasi rataan tebal bakau. Pantai purba sempit terbentuk di pesisir yang menghadap ke periaran bebas yang bergelombang kuat yang membantu pembentukan endapan pasir kuarsa putih. Contoh kota yang menempati gugusan pulau ini adalah: Pangkal Pinang, Tanjung Pinang, dll. 

      h.   Pulau Delta:   
           Pulau-pulau delta terbentuk di bagian perairan landai di muara sungai yang mengalir jauh dari pedalaman mengangkut sedimen yang diendapkan dan membentuk pulau-pulau ini. Hampir seluruh pulau umumnya ditutupi bakau atau hutan tropis dataran basah pada kisaran supra tidal atau intertidal. Kota-kota di pesisir timur Sumatra dari Riau hingga Jambi menempati kawasan ini (Rumbai, dst).


7. 3.     Morfologi:

            Kerjaan langsung dari proses geologi (endogen), laut dan cuaca (eksogen) menghasilkan bentang (morfologi) lanjut pantai dan pesisir. Kenampakannya di lapangan dapat dibedakan dalam beberapa kelompok, antara lain:

      a.   Pantai curam singkapan batuan :
           Jenis pantai ini umumnya ditemukan di pesisir yang menghadap laut lepas dan merupakan bagian jalur tunjaman/tumbukan, berupa pantai curam singkapan batuan volkanik, terobosan, malihan atau sedimen. Jenis pantai ditemukan pantai barat Sumatra, Pulau Simeuleule hingga Enggano, Pantai Selatan Jawa, Nusa Dua-Bali, Pantai selatan Lombok - Flores, Sumba, Sabu, Rote, Timor, Solor - Wetar, Pantai timur Tanimbar, Pantai utara Ceram Irian Jaya.

      b.   Pantai landai atau datar:
           Pesisir datar hingga landai menempati bagian mintakat kraton stabil atau cekungan belakang. Absennya gejala geologi berupa pengangkatan dan perlipatan atau volkanisme, pembentukan pantai dikendalikan oleh proses eksogen cuaca dan hidrologi.
Estuari lebar menandai muara dengan tutupan tebal bakau. Bagian pesisir dalam ditandai dataran rawa atau lahan basah. Sedimentasi kuat terjadi di perairan bila di hulu mengalami erosi. Progradasi pantai atau pembentukan delta sangat lazim. Kompaksi sedimen diiringi penurunan permukaan tanah, sementara air tanah tawar sulit ditemukan.

      c.   Pantai dengan bukit atau paparan pasir:        
           Pantai menghadap perairan bergelombang dan angin kuat dengan asupan sedimen sungai cukup, umumnya membentuk rataan dan perbukitan pasir. Kondisi kering dan berangin kuat dapat membentuk perbukitan pasir. Air tanah seringkali terkumpul dari air meteorik yang terjebak. Sementasi sedimen terbentuk bila terdapat cukup kelembaban dari air laut (spray) dan terik matahari. Jenis pantai ini berkembang baik di perairan yang menghadap samudra Hindia (Sumatra pantai barat, Jawa, dst.).
           Paparan pasir juga terbentuk di perairan yang menghadap cekungan dalam di pulau kecil atau gunung api sejauh cukup landai lereng pantai dan sedimen sungai serta agitasi gelombangnya.

      d.   Pantai lurus dan panjang dari pesisir datar:
           Pantai tepian samudra dengan agitasi kuat gelombang serta memiliki sejumlah muara sungai kecil berjajar padanya dengan asupan sedimen, dapat membentuk garis lurus dan panjang pantai berpasir. Erosi terjadi bila terjadi ketidak seimbangan lereng dasar perairan dan asupan sedimen.             
 
      e.   Pantai berbukit dan tebing terjal:
           Bentang pantai ini ditemukan di berbagai mintakat berbeda, yaitu di jalur tumbukan/tunjaman, jalur volkanik, pulau-pulau sisa tinggian di paparan tepi kontinen, jalur busur luar atau jalur tektonik geser. Batuan keras yang terkerat patahan dan rekahan umun dijumpai di kawasan yang gejala tektoniknya kuat. Batuan terobosan atau bekuan tufa dapat membentuk tebing terjal di pantai pulau volkanik. Di kawasan dengan proses pengangkatan dan pelipatan, kecuraman lereng pantai atau bukit adakalanya tergantung arah lipatan dan kemiringan perlapisan dan kekerasan maupun kestabilan batuannya. Terjalnya tebing pantai dan kuatnya agitasi gelombang meniadakan peluang terumbu karang tumbuh, demikian halnya dengan bakau. Tutupan tumbuhan masih mampu tumbuh di lapukan batuan, terutama di kawasan dengan curah hujan memadai.
           
      f.    Pantai erosi
           Terjadinya erosi terhadap pantai disebabkan oleh adanya: batuan atau endapan yang mudah tererosi, agen erosi berupa air oleh berbagai bentuk gerak air. Gerak air dalam hal ini bisa berupa arus yang mengikis endapan atau agitasi gelombang yang menyebabkan abrasi pada batuan. Erosi tidak hanya berlangsung di permukaan, namun juga yang terjadi di permukaan sedimen dasar perairan.
           Erosi maksimum terjadi bila enersi dari agen erosi mencapai titik paling lemah materi tererosi. Pada sedimen lepas di pantai, arus sejajar pantai oleh adanya gelombang atau arus pasang surut sudah mampu menjadi penyebab erosi. Erosi yang terjadi pada dasar perairan akan mengubah lereng yang berdampak pada perubahan posisi jatuhnya enersi gelombang pada pantai. Berikutnya, agitasi gelombang dapat merusak titik terlemah dari apapun yang ditemukan dengan enersi maksimal. Pencapaian titik terlemah dapat terjadi bila saat badai dengan gelombang kuat terjadi bersamaan dengan posisi paras muka laut jatuh pada sisi paling lemah, yaitu permukaan rataan pasir pantai. Erosi diperparah bila sedimen sungai yang menjadi penyeimbang tidak cukup mengganti sedimen yang tererosi.
           Jenis pantai dengan ancaman seperti ini terdapat di pesisir barat Sumatra, selatan Jawa dan beberapa tempat yang menghadap perairan dengan agitasi gelombang kuat.
           Pada tebing pantai batuan keras, abrasi terjadi pula namun memerlukan waktu lama untuk menghasilkan dampak yang terlihat. Takik pada batuan di ketinggian tertentu diakibatkan kerjaan abrasi ini, bila takik terlalu dalam dan beban tidak dapat tertahan lagi, bagian atas tebing runtuh. Pada beberapa kejadian, takik juga dipercepat dalamnya oleh kegiatan pelubangan biota.                 
             
      g.   Pantai akresi:
           Proses akresi terjadi di pesisir yang menerima asupan sedimen lebih dari jumlah yang kemudian dierosi oleh laut. Dengan demikian, akresi merupakan kebalikan dari proses erosi. Keseimbangan yang menyebabkan dua proses tersebut berlangsung bergantian adalah kondisi: berubahnya paras muka laut, perubahan enersi agen erosi, perubahan jumlah sedimen yang tersedia, dan lereng dari dasar perairan. Akresi pantai oleh sedimen halus sering diikuti tumbuhnya bakau yang berfungsi kemudian sebagai penguat endapan baru dari erosi atau longsor. Kecepatan akresi di beberapa pantai dikendalikan oleh intensifnya sedimentasi hasil erosi di hulu.


7.4.      Ekosistem tutupan biota:

      a.   Bakau
           Tutupan bakau memerlukan pesisir landai dengan substrat lumpur atau sedimen halus, serta dekat muara sungai agar tersedia cukup air tawar. Bakau dapat membentuk rataan sangat luas di pesisir tepian pulau kraton atau cekungan belakang yang landai dan luas. Bakau juga tumbuh di pulau-pulau kecil bila menemukan pantai landai dan cukup air tawar. Adakalanya bakau tumbuh di atas rataan terumbu karang.                                     
      b.   Terumbu karang 
           Terumbu karang tumbuh di perairan hangat, jernih dan terlindung dari agitasi kuat gelombang. Sifat tumbuhnya yang memerlukan sinar matahari, ia selalu berusaha dekat dengan permukaan air laut. Tingkat keragaman komponen terumbu dan kualitas individunya tergantung dari kualitas lingkungan yang dikontrol oleh kondisi fisiko-kimia perairan dan, saat ini, kualitas terumbu karang menurun akibat dampak kegiatan manusia dalam penangkapan ikan. Terumbu karang memiliki banyak fungsi, antara lain: secara fisis melindungi pesisir dari agitasi gelombang, menghasilkan sedimen karbonat penyeimbang dasar perairan dan perlindungan bagi biota laut.
    
      c.   Bakau di atas terumbu karang:
           Dinamika perubahan relatif paras muka laut, suplai air tawar dan kemampuan adaptasi biota laut menghasilkan gejala simbiosa antara bakau dan terumbu karang (dan ikan) yang tumbuh di satu ekosistim.

      d.   Rumput laut :
                 Rataan luas pasir karbonat di terumbu karang pada perairan intertidal memberi peluang tumbuhnya rumput laut (segrass dan seaweed) memperkaya keragaman habitat wilayah perairan. Perairan relatif jernih dengan substrat pasir halus karbonat disukai oleh biota ini.                   

      e.   Estuari dan paparan intertidalnya:
           Pasang naik dan pasang surut tinggi membentuk estuari, namun meninggalkan juga endapan lumpur luas yang tebal namun muncul saat surut. Rataan ini merupakan habitat subur bagi jenis kerang-kerangan (bivalve)  

      f.    Pantai kering batu gamping:
           Di kawasan dengan curah hujan tahunan tipis, lembah dalam sungai mengiris perbukitan undak pantai dengan aliran air hanya saat hujan tiba. Akresi pantai hanya terjadi oleh terangkatnya rataan terumbu membentuk undak pantai baru. Sedimen hasil rombakan terumbu karang terakumulasi di bagian cerukan pantai atau pantai landai membentuk paparan datar. Terbatasnya suplai air tawar dan sedimen sungai menyebabkan perairan terjaga bersih, namun membatasi bakau di periaran yang memperoleh air tawar dari sungai yang lebih teratur aliran air tawarnya. Pantai kering dapat terbentuk pulau dari batuan volkanik di kawasan bercurah hujan rendah. Jatuhan batu di tebing sering menandai jenis pantai ini.

      g.   Lahan basah (wetland):          
           Dapat berupa delta atau pesisir berawa bagian pulau yang menghadap mintakat stabil geologi. Kawasan pesisir ini dicirikan oleh dataran berawa tumbuhan tropis di limpahan banjir sungai yang alirannya berkelok hingga dataran supratidal-intertidal di mintakat bakau.
       

7.5.      Pantai dengan pengaruh kegiatan manusia:

      a.   Pemukiman Tradisional: 
           Pantai dan pesisir telah terubah dari bentang dan bentuk semula oleh kebutuhan manusia yang dibangun sepanjang pantai atau pesisir. Pemukiman dan pelabuhan merupakan perubahan yang paling awal dilakukan di pantai.     
            -     Diatas perairan:
                 Manusia yang kehidupannya tergantung pada laut merasa nyaman tinggal dan membangun pemukimannya di atas air (Suku Bajo, Orang Laut, dll). Pemukiman dibangun dan disangga oleh tiang kayu di atas batas pasut tertinggi.                       
            -     Diatas pematang pantai :
                 Pemukiman dapat juga dibangun diatas rataan pasir pantai yang terbebas dari pasang tertinggi, di tempat mana manusia dapat memperoleh air tawar dari sumber atau dengan membuat sumur. Kegiatan meramu hutan dan bercocok ringan mulai dilakukan.
       
      b.   Pemukiman baru 
           Pembangunan pemukiman baru dilakukan di pesisir dengan memperkuat pantai, membuat perlindungan dari erosi dan limpasan gelombang. Pembuatan turap pelindung mengubah sama sekali bentang pantai. Bakau dihilangkan untuk memperoleh pandangan ke laut lepas.            



      c.   Pelabuhan
           Tempat berlabuh memerlukan perairan tenang terbebas setiap saat dari kesulitan sandar dan memrlukan perairan dalam. Perluasan pelabuhan untuk ukuran kapal lebih besar mengubah bentang alam, yang semula hanya terbuat dari dermaga kayu sederhana menjadi demikian masif terbuat dari bangunan beton dengan turap. Pembangunan pelabuhan mengubah bentang pantai.                 

      d.   Kota Besar Pesisir
           Pembangunan pemukiman berskala besar dari perluasan kota cenderung berdampak pada terubahnya bentang alam wilayah pesisir menjadi blok-blok perumahan yang penataannya lebih didasarkan pada efisiensi ruang semaksimal mungkin. Kondisi demikian tidak lagi mengindahkan keperluan keseimbangan estetika mupun daya dukung lingkungan. Adakalanya pengelolaan limbah pemukiman juga terabaikan dengan dampak semakin buruknya kualitas pantai dan perairan.
                 
      e.   Pantai Reklamasi:
           Reklamasi pantai demi memperoleh lahan lebih luas merupakan kegiatan palingburuk yang mengubah bentang alam asli pantai dan wilayah pesisir.      Penataan ruang bentang alam yang diperoleh harus dilakukan dengan perhitungan dan perencanaan yang matang sehingga ruang baru dapat menyatu dengan bentang alam asli disekelilingnya.

      f.    Tambak (ponds):
           Tambak dibangun diperairan intertidal dengan membuka tutupan lahan asli berupa bakau dan lahan rawa. Kegiatan ini mengubah bentang alam dalam skala luas di pesisir datar dengan kisaran pasut tidak terlalu kuat. Seringkali tambak dibuat langsung di perairan pinggir laut, namun seringkali menyisakan rataan tipis bakau sebagai pelindung dan penangkap sedimen. Pertambakan luas dikembangkan di perairan tepian kontinen. 
       
      g.   Hunian wisata:
           Beberapa tempat terpilih sebagai kegiatan hunian wisata, dalam format besar dan modern maupun kecil bernuansa ekowisata. Bentang alam umumnya terubah pada hunian wisata masif dan modern berupa hotel atau bungalow, sementara nuansa asli seringkali justru dipertahankan pada hunian ekowisata.


8. KESIMPULAN DAN SARAN

            Menutup ulasan mengenai karakeristik pantai dan pengaruhnya pada perkembangan kota, dapat disampaikan beberapa catatan, saran dan kesimpulan, antara lain:
1.    Bentang alam wilayah pesisir dan pantai dibentuk oleh gejala endogen geologi. Tiga gejala utama tektonik yang mengontrol awal bentang alam adalah tunjaman dan tumbukan lempeng, gerak geser antar lempeng, gunung api dengan komponen gerak tegaknya. Cekungan belakang busur ditandai oleh penurunan yang membentuk sedimen tebal. Jenis batuan menentukan kestabilan pantai dan kemampuan bertahan dari kerjaan laut dan cuaca.           
2.    Di perairan stabil tanpa gejala geologi (endogen), di bagian yang mengalami pengaruh kuat perubahan paras muka laut, di pesisir dan di pantai, selanjutnya pembentukan bentang alam lebih dipengaruhi oleh gejala cuaca (erosi) dan laut (erosi, sedimentasi).
3.    Pantai yang menghadap perairan terbuka dengan agitasi kuat memiliki kota pantai yang berkembang di rataan pasir pantai, berawal dari pemukiman dan pelabuhan sebagai bandar niaga di muara sungai. Pemilihan muara di bentang manapun sebagai awal pemukiman sangat umum dijumpai di Indonesia, di dataran alluvial, di kaki gunung pulau volkanik, di pesisir perairan paparan tepian kontinen atau di pantai dataran limpah banjir.
4.    Kota pantai tumbuh dan berkembang sesuai status dan fungsinya dari saat ke saat melalui beberapa perioda masa penjajahan dan kemudian masa setelah kemerdekaan. Perkembangan dan perluasan kota yang berstatus kota pusat pemerintahan terlihat lebih pesat.
5.         Perluasan kota untuk pemukiman mulai terasa sejak 30 tahun terakhir. Demikian halnya dengan pembangunan sarana pelabuhan dan transportasi lain.
6.  Sejumlah besar kota pantai berkembang pesat oleh peningkatan usaha ekonomi perniagaan, pertanian/perkebunan dan industri, sementara marikultur dan industri hilirnya hanya berkembang di beberapa kota pantai saja atau hanya sebagai suplemen kecil usaha ekonomi. Perlu peningkatan usaha ekonomi kelautan di segala lini (industri rekayasa, budidaya dan tangkap, pengolahan, wisata, dll)    
7.    Pertumbuhan kota-kota pantai di akhir abad 20 an cenderung mangabaikan daya dukung lingkungan di sekelilingnya serta ancaman bencana yang berpotensi merusak. Keterbatasan ruang yang layak dikembangkan menyebabkan perluasan merambah lingkungan yang seharusnya dipertahankan sebagai penyangga, antara lain yang berada di hulu, hilir, pantai dan perairan dengan pulau-pulau di depannya.
8.    Cuaca, kondisi laut dan tektonik merupakan gejala-gejala yang mengontrol bentang alam dari awal pembentukan hingga bentuk saat ini. Mengingat demikian kuat pengaruhnya hingga saat ini seiring perkembangan kota, maka gejala tersbut harus diperhitungkan sebagai potensi alam dalam upaya mempertahankan kelestarian lingkungan kota pantai.
9.    Jenis ancaman bencana pada kota-kota pantai beragam tergantung pada gejala alam apa saja yang mengontrolnya. Namun secara regional, ancaman kenaikan muka air laut estatik - walaupun akan dirasakan hampir semua kota pantai dengan besaran dampak berbeda tergantung bentang alam dan gelogi di atas mana kota dibangun. Kota pantai berbukit hampir tidak terpengaruh oleh gejala ini sementara kota di pesisir delta atau pulau kecil, akan merasakan akibat gejala ini dengan ancaman sangat serius pada kerusakan langsung pada pantai oleh erosi dan penenggelaman.


Ucapan Terima kasih:
            Penyiapan tulisan ini tidak lepas dari bantuan teknis pengadaan sejumlah data, antara lain data citra satelit oleh beberapa kolega: Ir Suwijanto dan Ir. Tjoek Azis Soeprapto Msc, data pustaka lain oleh rekan-rekan yang tidak tersebutkan di sini. Untuk itu diucapkan terima kasih atas bantuannya.       


DAFTAR PUSTAKA

Hantoro W.S.,1992 : Etude des terrasses récifales quaternaires soulevées entre le                            détroit de la Sonde et l'”le de Timor, Indonésie Mouvements Verticaux de la Croûte                             terrestre et variations du niveau de la mer. Ph.D Thesis Univ. d'Aix Marseille II.                                 France. Vol I 761p et Vol. II 225p. Published.
Hantoro W.S., Handayani L., (1993) The post glacial carbonate production of the lost epicontinental platform in the Pacific-Indian Ocean Gateways. In:                 Proceedings of the CLIP Unesco IUGS Meeting, Mombasa, Kenya, December 13-            20, 1993. (g)
Hantoro W.S., Faure H., Djuwansah R., Faure-Denard L.,Pirazzoli P.A., 1993. The                    Sunda and Sahul Continental platform: Lost land of the last glacial continent in                     S.E. Asia. Extended Abstract In: IGCP 253-274 workshop, Dakar, Senegal, May 3-5,                          1993.
Hantoro W.S. 2001. Low stand sea level and landform changes: climatic changes                          consequence to epicontinental shelf and fauna migration through Indonesian                                   Archipelago. In Preceeding of: “The environmental and Cultural History and                       Dynamics of the Australian-Southeast Asian Region” seminar, Melbourne, December                                  10-12, 1996.
Moore G.F., Curray J.R., Moore D.G., Karig D.E., 1980. Variations in geologic                  structure along the Sunda fore-arc, northern Indian Ocean. In: D.E. Hayes (Editor),   The Tectonics and Geologic Evolution of the Southeast, Asian Seas and Basins. Geophys. Monographs, 23, Am. Geophys. Union, Washington, D.C., pp. 145-160.
Mc Caffrey R., Molnar P., Roecker S.W., Joyodiwiryo Y.S., 1985. Microearthquacke                  seismicity and fault plane solution related to arc-continent collision in the eastern                Sunda Arc. Journal of Geophysical Research, 90: 4511-4528.
McCaffrey R., 1991. Slip vectors and stretching of Sumatran fore arc. Geology 19,               881-884.
McCaffrey R., Abers G.A., 1991. Orogeny in arc-continent collision: The Banda arc and Western New Guinea. Geology, v.19, p.563-566 ,June 1991.
Wang P.X., Bradshaw M., Ganzei S., Tsukawaki S., Hantoro W.S. Hassan K.,  Poobrasert, 1996. Paleogeographical Map of The Last Glacial Maximum 1:20 000 000, Westpac Intergovernmental Oceanographic Commission, IOC/Westpac Sub-                                                Commission publication. 1996.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar