Jumat, 11 November 2011

MATERI KULIAH BIOTEKNOLOGI (ANGKATAN 2008)

Materi dibawah ini sebagai bahan diskusi, hasil diskusi saudara dikumpulkan minggu depan tanggal 20 November 2011
APLIKASI TEKNOLOGI BERBASISKAN MEMBRANDALAM BIDANG BIOTEKNOLOGI KELAUTAN: PENGENDALIAN PENCEMARAN
(ERNI MISRAN, ST.,MT. Fakultas teknikProgram Studi Teknik KimiaUniversitas Sumatera Utara)

PENDAHULUAN
Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia selain dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan lokal maupun internasional, juga memiliki sumber daya laut yang sangat kaya dan penting antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang, mangrove, bahan tambang, dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang menarik. Laut juga mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan biota laut lainya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, laut yang merupakan satu sumber daya alam, sangat perlu untuk dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian dan/atau perusakan laut menjadi sangat penting. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.
Akhir-akhir ini pencemaran laut telah menjadi suatu masalah yang perlu ditangani secara sungguh-sungguh. Hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping menghasilkan produk-produk yang diperlukan bagi kehidupannya, kegiatan manusia menghasilkan pula produk sisa (limbah) yang dapat menjadi bahan pencemar (polutan). Cepat atau lambat polutan itu sebagian akan sampai di laut. Hal ini perlu dicegah atau setidak-tidaknya dibatasi hingga sekecil mungkin.
Di Indonesia, teknologi untuk mengolah berbagai polutan dengan menggunakan bahan-bahan kimia masih sangat mahal. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem pemisahan yang cukup selektif dan ekonomis untuk menghilangkan polutan ini. Teknologi pemisahan berbasiskan membran pada saat ini semakin terlihat atraktif sebagai alternatif pengganti proses-proses konvensional. Teknologi pemisahan dengan membran ini mempunyai spektrum pemisahan yang sangat luas dan selektif yang sudah diaplikasikan secara luas. Hal yang paling penting dalam penggunaan teknologi membran dalam bioteknologi kelautan adalah efisiensi dalam perolehan produk terutama dalam proses produksi produk-produk biologi yang sangat murni dan mahal seperti agar untuk kultur media atau bahkan bahan-bahan farmasi seperti antibiotik, vaksin, dan lain-lain dalam skala besar. Hal penting lainnya adalah minimasi limbah dalam perairan pantai serta pengurangan kandungan mikoorganisme atapun garam dalam sistem pendingin yang menggunakan air laut sebagai media pertukaran panas. Kedua aplikasi ini memerlukan sistem pemisahan berbasiskan membran yang sangat selektif (Wenten dan Adityawarman, 1999).

PENCEMARAN LAUT
2.1 PENGERTIAN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto, 1999). Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) memberikan pengertian bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap sumber daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan manfaatnya (Siahaan, 1989a).

2.2 JENIS-JENIS POLUTAN
Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Mannion dan Bowlby (1992) menggolongkannya dari segi konservatif/non-konservatif :
a) Golongan non-konservatif terbagi dalam tiga bentuk yaitu :
• buangan yang dapat terurai (seperti sampah dan lumpur), buangan dari industri pengolahan makanan, proses distilasi (penyulingan), industri-industri kimia, dan tumpahan minyak;
• pupuk, umumnya dari industri pertanian;
• buangan dissipasi (berlebih), pada dasarnya adalah energi dalam bentuk panas dari buangan air pendingin, termasuk juga asam dan alkali.
b) Golongan konservatif terbagi dalam dua bentuk yaitu :
• partikulat, seperti buangan dari penambangan (misalnya : tumpahan dari tambang batubara, debu-debu halus), plastik-plastik inert;
• buangan yang terus-menerus (persistent waste) yang terbagi lagi dalam tiga bentuk :
(I) logam-logam berat (merkuri, timbal, zinkum);
(ii) hidrokarbon terhalogenasi (DDT dan pestisida lain dari hidrokarbon terklorinasi, dan PCBs atau polychlorinated biphenyl); dan
(iii) bahan-bahan radioaktif.
Seringkali polutan yang masuk ke laut berbentuk kompleks, dalam arti dapat mengandung kedua golongan di atas yaitu konservatif dan non-konservatif. Sebagai contoh adalah buangan yang berasal dari penduduk (limbah domestik) yang umumnya mengandung buangan organik tetapi juga mengandung bahan berlogam, minyak dan pelumas, deterjen, organoklorin, dan buangan industri lainnya.
Sementara itu GESAMP (The Grooup of Experts on Scientific Aspects of Marine Pollution) memberikan 8 klasifikasi polutan yakni hidrokarbon terhalogenasi termasuk PCBs dan pestisida, misalnya DDT; minyak bumi dan bahan-bahan yang dibuat dari minyak bumi; zat kimia organik seperti biotoksin laut (marine biotoxin), deterjen; pupuk buatan (kimia) maupun alami termasuk yang terdapat di dalam kotoran yang berasal dari pertanian; zat kimia anorganik, terutama logam berat seperti merkuri dan timah hitam; benda-benda padat (sampah) baik organik maupun anorganik; zat-zat radioaktif; dan buangan air panas (thermal water).

2.3 SUMBER- SUMBER POLUTAN
Menurut Alamsyah (1999), pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) maupun kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas kontaminasi secara fisik dan kimiawi.
Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : penebangan hutan (deforestation), buangan limbah industri (disposal of industrial wastes), buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes), buangan limbah cair domestik (sewage disposal), buangan limbah padat (solid wastes disposal), konversi lahan mangrove dan lamun (mangrove and swamp conversion), dan reklamasi di kawasan pesisir (reclamation).
Sedangkan kegiatan atau aktivitas di laut (sea-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : perkapalan (shipping), dumping di laut (ocean dumping), pertambangan (mining), eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil exploration and exploitation), budidaya laut (mariculture), dan perikanan (fishing).
Lebih jauh lagi, cara masuknya sumber-sumber polutan ke laut diterangkan oleh Mannion dan Bowlby (1992). Ada limbah yang dibuang ke laut secara langsung yaitu berupa hasil kegiatan di pantai maupun lepas pantai, atau secara tidak langsung sebagai bahan yang terbawa melalui aliran sungai; ada pula limbah yang dengan sengaja dibawa ke laut lepas untuk ditimbun (dumping). Sumber polutan yang terpenting berasal dari kegiatan di darat (sekitar 95%), yaitu berupa buangan industri yang dilepas secara reguler juga berupa limbah cair domestik. Sebagai contoh adalah buangan rutin berupa limbah cair radioaktif dari pabrik pengolahan nuklir Sellafield yang mengakibatkan Laut Irlandia sebagai laut yang mempunyai kadar pencemaran radioaktif tertinggi di dunia. Untuk kasus di Indonesia terjadi di desa Kilensari, daerah pantai utara Jawa, dimana air buangan dan ampas tebu dari pabrik gula yang berada di desa tersebut telah menyebabkan banyak ikan yang mati dan air laut di sekitar muara sungai menjadi kotor sehingga tidak memungkinkan pencarian ikan pada musim penggilingan tebu (Anonim, 1987).
Sementara itu, sumber pencemaran akibat kegiatan di laut terutama berasal dari buangan kapal-kapal baik karena kegiatan operasional rutin (sengaja) maupun karena kecelakaan (tidak sengaja). Pencemaran akibat kecelakaan mengakibatkan masuknya polutan dalam jumlah besar, seperti akibat kebocoran kapal supertanker minyak yang menyebabkan laut tercemar. Yang lebih penting lagi adalah akibat kegiatan rutin yang secara reguler membuang polutan ke lingkungan laut karena hal ini nerupakan cara termurah untuk membuang limbah. Contohnya adalah pembuangan limbah yang telah diolah sebagian atau belum diolah sama sekali, limbah cair dan air pendingin dari industri, sludge, tumpahan dari penambangan dan akibat pengerukan, mesiu yang tidak terpakai lagi, dan buangan radioaktif. Khusus untuk radioaktif, buangannya bukan saja berasal dari pusat pembangkit tenaga nuklir, pabrik pengolahan bahan bakar nuklir, dan kegiatan pengolahan uranium; tetapi juga berasal dari kegiatan umum lainnya seperti pembakaran batubara. Bila batubara dibakar maka akan memancarkan partikel-partikel radioaktif ke atmosfer yang akan kembali lagi ke laut. Budidaya laut (mariculture), yang membutuhkan air segar, dapat tercemar dengan sendirinya akibat kelebihan pakan yang akhirnya mendorong terjadinya proses eutrofikasi; dan pestisida yang digunakan agar ikan terhindar dari parasit dapat menyebabkan matinya invertebrata lainnya.
Kegiatan rekreasi dan kepariwisataan telah menjadi aspek penting dalam peningkatan ekonomi, khususnya bagi penduduk pesisir. Akan tetapi kegiatan ini 2002 digitized by USU digital library 3
telah membawa dampak lingkungan yang tidak selalu positif. Buangan limbah dari hotel dan restoran di sepanjang pantai, serta meningkatnya permintaan air bersih dapat memberi ancaman berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir. Di sisi lain, tidak ada atau kurangnya titik/tempat tambatan kapal (ponton) yang dipersiapkan pada kawasan taman wisata alam laut, menyebabkan jangkar kapal sangat berpeluang merusak terumbu karang.
 
2.4 DAMPAK PENCEMARAN LAUT
Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan yang telah disebutkan sebelumnya adalah sangat beragam. Ada beberapa polutan yang dapat langsung meracuni kehidupan biologis. Ada pula polutan yang menyerap banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi. Ada polutan yang mendorong tumbuhnya jenis-jenis binatang tertentu. Dan ada pula polutan yang berakumulasi di dalam jaringan makanan laut yang tidak dapat dihancurkan oleh sel-sel hidup (bioaccumulation).
Masalah pencemaran yang paling besar di banyak tempat di Indonesia adalah limbah cair domestik dan industri. Hal ini umumnya disebabkan tidak atau kurang memadainya fasilitas untuk menangani dan mengelola limbah tersebut. GESAMP telah bersepakat mempelajari beberapa polutan yang khusus yaitu PCBs; pestisida organoklorin; logam berat seperti merkuri, timbal, arsen, kadmium; deterjen; dan biotoksin laut. Zat-zat ini diberi prioritas yang tinggi karena toksisitas, persistensi, dan sifatnya yang berakumulasi dalam organisme-organisme yang hidup di laut dan pengaruhnya pada jaringan makanan laut menunjukkan kadar yang tinggi. Mereka masuk melalui plankton dan kemudian dimakan oleh pelbagai binatang laut seperti binatang-binatang karang yang dapat mengumpulkan konsentrasi dari pestisida yang sangat tinggi.
2.4.1 Industri Pertanian
Masalah pencemaran yang dikaitkan dengan pertanian adalah sedimentasi pestisida dan pupuk. Aliran air hujan dari daerah pertanian juga mengandung bahan makanan yang besar seperti senyawa nitrogen yang jika sampai ke laut dapat menyebabkan masalah eutrofikasi.
Pestisida digunakan dengan maksud untuk pembasmian hama dalam pertanian. Hanya saja, sifat toksisitas pestisida telah diketahui dapat menimbulkan kanker. Selain itu, bahaya utama yang telah diketahui dari sisa pestisida adalah kemampuan untuk merusak biota laut dikarenakan daya akumulasinya pada biota laut. Dalam konsentrasi yang rendah (karena sudah terencerkan), pestisida biasanya memang tidak sampai mematikan ikan, tetapi menghambat pertumbuhan. Tetapi untuk beberapa organisma laut, terutama jenis crustacea seperti udang dan kepiting, senyawa-senyawa organoklorin dan organofosfat telah bersifat letal sekalipun dalam dosis rendah.
2.4.2 Konservasi Lahan Mangrove
Konservasi lahan mangrove (hutan bakau) memberikan dampak tersendiri. Mangrove sangat berperan dalam siklus kehidupan berbagai jenis biota laut. Mangrove juga merupakan ekosistem yang amat produktif. Hasil dari sistem ini (terutama melalui rontokan daun) yang kemudian membusuk menjadi bahan dasar makanan yang kaya akan protein dan memelihara mata rantai makanan organisme perairan, seperti moluska, kepiting, ikan, udang, cacing dan binatang kecil lainnya. Fungsi lain hutan mangrove adalah sebagai pelindung dan stabilisator garis pantai sehingga melindungi pantai dari bahaya abrasi. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai pengikat lumpur dalam pembentukan lahan, dimana lahan tersebut dapat
2002 digitized by USU digital library 4
digunakan untuk berbagai kegiatan seperti tempat pemancingan atau tempat wisata. Buah dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat dan makanan ternak.
Umumnya, kerugian akibat kerusakan hutan mangrove dirasakan seiring dengan menurunnya produksi ikan yang merupakan sumber mata pencaharian. Pengrusakan sebagian besar terjadi karena kegiatan reklamasi dengan pengurugan (penimbunan) untuk berbagai tujuan seperti perluasan pemukiman, perluasan obyek pariwisata dan rekreasi, demikian juga halnya dengan perluasan lahan tambak. Kerusakan terhadap mangrove yang tersisa juga dipercepat dengan pengambilan kayu yang membabi buta.
2.4.3 Logam Berat
Unsur logam berat masuk ke lingkungan laut melalui sungai dan udara; umumnya sebagian besar masuk melalui aliran sungai, hanya unsur-unsur yang menguap saja yang banyak dibawa oleh udara seperti merkuri dan selenium. Dampak pencemaran akibat logam-logam berat adalah dikarenakan sifatnya yang tak dapat terurai dan mudah diabsorpsi oleh biota laut sehingga terakumulasi dalam tubuh. Unsur logam berat dapat masuk ke dalam tubuh biota laut melalui 3 cara yaitu melalui permukaan tubuh, terserap insang, dan rantai makanan. Selain mengganggu ekosistem, unsur logam berat secara tidak langsung juga merusak perikanan dan kesehatan manusia.
Dampak yang ditimbulkan akibat keracunan oleh logam berat ini bermacam-macam :
• Akibat keracunan akut karena merkuri pada manusia antara lain mual, muntah-muntah, diare berdarah, kerusakan ginjal serta dapat mengakibatkan kematian. Keracunan kronis ditandai dengan peradangan mulut dan gusi, pembengkakan kelenjar ludah dan mengeluarkan ludah secara berlebihan. Tanda-tanda keracunan pada manusia terjadi apabila kadar metil merkuri dalam darah adalah 0,2 μg.
• Keracunan akut karena timbal akan mengakibatkan terbakarnya mulut; keracunan kronis menyebabkan anemia, mual, sakit di sekitar perut, serta mengakibatkan kelumpuhan. Konsentrasi timbal 0,05 mg/l dapat menimbulkan bahaya pada lingkungan laut.
• Dampak dari konsumsi tembaga dalam konsentrasi besar pada manusia adalah kerusakan pada ginjal; sementara pada biota laut, tembaga bersifat racun bahkan lethal (tergantung pada konsentrasinya) untuk jenis algae dan moluska. Konsentrasi tembaga sebesar 0,05 mg/l membahayakan untuk lingkungan laut.
• Sedangkan arsen, merupakan salah satu penyebab kanker bagi manusia yang menyerang sistem pencernaan, pernapasan, syaraf, hati, kulit, dan darah. Pada konsentrasi 0,05 mg/l telah menimbulkan bahaya pada lingkungan laut (Made, 1989).
2.4.4 Buangan Air Panas (Thermal Water)
Meningkatnya jumlah dan besarnya pusat tenaga listrik telah menimbulkan pencemaran yang akut di beberapa daerah. Pusat tenaga listrik menggunakan air pendingin dalam jumlah besar untuk mendinginkan kondensor atau mengontrol temperatur reaktor nuklir. Air panas juga mengandung ion-ion logam beracun atau unsur-unsur radioaktif yang kemudian dibuang melalui sungai, danau, dan muara sehingga membahayakan lingkungan.
Kebanyakan biota yang hidup sekarang telah menduduki batas atas dari toleransi suhunya, dimana pada keadaan ini proses kimia dalam tubuhnya adalah sangat efisien, maka perubahan yang hanya menaikkan temperatur beberapa derajat saja dapat menyebabkan kematian ikan dan plankton. Kalaupun perubahan temperatur tersebut tidak sampai menimbulkan kematian, tetapi dapat mengganggu
 sistem biologi yang mendasar dengan menghasilkan perubahan seperti dalam reproduksi dan pertumbuhan.
Tenaga listrik dapat menimbulkan kelebihan panas dan menyokong berkembang biaknya organisme-organisme yang berhubungan erat dengan racun ciguatera. Racun ciguatera dapat mempengaruhi sistem syaraf. Racun ini tidak selalu menimbulkan akibat yang fatal tetapi sangat mengganggu si penderita dan pengaruhnya dapat berlangsung dari beberapa hari sampai bertahun-tahun. Si penderita kadang-kadang sangat sensitif, bahkan terhadap ikan yang tidak mengandung racun pun. Racun ini sering terdapat pada ikan-ikan di daerah sempit (Idler, 1972 dalam Sumadhiharga, 1995). Beberapa penjangkitan dari keracunan ciguatera telah dilaporkan dari daerah dekat sebuah pabrik listrik di sebelah selatan Miami.
2.4.5 Biotoksin Laut
Meskipun jenis biotoksin sangat banyak terdapat di laut, tapi hanya jenis ciguatoksin, clupeotoksin, sanrin, histomin, dan tetrodoksin yang diduga berhubungan erat dengan masalah pencemaran. Asal mula biotoksin belum diketahui, tetapi pengamatan lingkungan menunjukkan bahwa polutan seperti senyawa logam, bekas barang perlengkapan perang yang dibuang ke laut, limbah panas, limbah industri, kapal-kapal rusak, dan lain-lain mungkin merangsang siklus keracunan siltasi dalam biota laut. Biota yang terpengaruh oleh pencemaran tadi adalah alga, moluska, ikan, atau vertebrata lainnya. Gangguan terhadap ekosistem laut seperti badai, kegiatan pengerukan, pertambangan, peledakan, letusan gunung berapi, perubahan salinitas, pencemaran panas, dan sebagainya mungkin dapat menyebabkan perubahan ekologis yang mengakibatkan ekosistem laut menghasilkan perkembangan biota-biota beracun. Jika suatu terumbu karang mati, maka daerah tersebut segera akan ditumbuhi oleh alga filamentus yang meningkatkan produksi ikan herbivora secara luar biasa (Johannes, 1970 dalam Sumadhiharga, 1995).
2.4.6 Tumpahan Minyak
Sumadhiharga (1995) memaparkan dampak-dampak yang disebabkan oleh pencemaran minyak di laut. Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak antara lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkna keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak akan menyebabkan kematian pada ikan disebabkan kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Batas toleransi minyak pada air laut berada antara 0,001 - 0,01 ppm, dan apabila melewati batas tertinggi dari kadar tersebut maka bau minyak mulai timbul.
Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak adalah terutama bagi biota laut yang masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.
Aktivitas lalu lintas tanker di lautan menjadi potensi penting bagi pencemaran ekologi maritim. Khususnya insiden-insiden kebocoran yang kerap memuntahkan kandungan minyak dari tanker sehingga terbuang ke laut, baik akibat kecelakaan karena tabrakan antara sesama kapal maupun karena terbentur karang atau gunung es. Di antara kecelakaan besar yang terjadi adalah yang menimpa kapal Torrey

Canyon (di daerah Cornwall-Inggris, 1976, menumpahkan 117.000 ton), Amoco Cadiz (Inggris, 1978, menumpahkan 223.000 ton), Exxon Valdez (Alaska, 1989, menumpahkan 11.2x106 ton sepanjang 3800 km dari garis pantai), dan Mega Borg (Texas, 1990, menumpahkan 500.000 gallon).
Pencemaran minyak, secara langsung dapat mengganggu keadaan lingkungan laut pada tempat-tempat rekreasi di pantai. Juga dapat mengganggu pemukiman penduduk sepanjang pantai serta menggangu peternakan/binatang piaraan penduduk sepanjang pantai. Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut.Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Pohon-pohon mangrove yang masih muda (berumur 4-5 tahun) juga musnah akibat pencemaran minyak ini.
Ketika terjadi pencemaran akibat kapal tanki Witwater di daerah laut Atlantik menuju Terusan Panama yang menumpahkan 20.000 barrel diesel dan bunker C, banyak pohon-pohon mangrove yang masih muda musnah, demikian pula banyak tumbuhan alga dan hewan invertebrata. Peristiwa yang lebih menghebohkan adalah peristiwa pecahnya kapal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut sekitar 10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi oleh genangan minyak. Pembuangan air ballast di Alaska sekitar Pebruari-Maret 1970 telah pula mencemari seribu mil jalur pantai dan diperkirakan paling sedikit 100 ribu ekor burung musnah (Siahaan, 1989b).
 
PENGENDALIAN PENCEMARAN LAUT
Setelah mengetahui berbagai dampak yang ditimbulkan dari polutan-polutan lingkungan laut, maka sangatlah perlu dilakukan upaya pengendalian bahkan pencegahan terhadap pencemaran laut mengingat akibatnya yang tidak saja dirasakan oleh biota-biota laut tetapi juga oleh manusia. Upaya pengendalian pencemaran laut perlu dilaksanakan sejak awal, dalam arti limbah-limbah yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia, baik di darat maupun di laut, haruslah diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke laut.
Banyak sekali sumber polutan yang menyebabkan terjadinya pencemaran di laut. Karena cakupannya sangat luas, maka pada paper ini pengendalian
 pencemaran laut lebih ditekankan pada masalah pencemaran oleh minyak yang meliputi masalah eksplorasi, pengilangan, dan tumpahan minyak. Sedangkan beberapa topik yang lain hanya akan disinggung sekilas saja.
 
3.1 PENERAPAN BERBAGAI TEKNOLOGI KONVENSIONAL
Berbagai metoda pengolahan limbah telah digunakan dan dikembangkan pada berbagai industri. Pengolahan yang dilakukan dapat merupakan pengolahan secara fisik, kimia, dan biologi ataupun merupakan gabungannya.
3.1.1 M i n y a k
a. Pengolahan Limbah Pada Kilang Minyak
Limbah yang terpenting pada proses pengilangan minyak bumi, berdasarkan volume produksi dan potensi untuk menimbulkan dampak terhadap lingkungan, adalah air yang dihasilkan dari proses penambangan. Pada aktivitas produksi (penambangan), keluarnya campuran air bersama minyak/gas dari formasi batuan selalu tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan saturasi air dalam formasi selalu bertambah sepanjang berlangsungnya produksi sehingga permeabilitas relatif formasi terhadap air pun akan semakin besar (Charade, 1983). Selain berasal dari air fossil yaitu air yang telah terdapat ribuan tahun di dalam minyak; air yang terdapat pada proses penambangan juga berasal dari air injeksi (biasanya air laut) yaitu air yang diinjeksikan ke sumur minyak untuk menaikkan tekanan di sumur menaikkan produksi minyak dan gas, biasanya untuk sumur tua. Air ini mengandung campuran yang kompleks dan beberapa senyawa kimia yang jika terdapat dalam kosentrasi yang cukup tinggi dapat merusak ekosistem laut bila langsung dibuang ke laut. Komponen yang terkandung antara lain hidrokarbon minyak, padatan tersuspensi, logam, zat radioaktif, asam organik, dan ion-ion anorganik.
Air yang dihasilkan bersama minyak dan gas dari sumur ini harus dihilangkan sebelum minyak mentah ataupun gasnya dapat diproses. Campuran minyak-gas-air ini diolah dengan tujuan untuk memisahkan minyak sebanyak mungkin, baru kemudian dibuang ke laut.
Sebelum air hasil penambangan ini dibuang ke laut, campuran minyak-gas-air ini harus diproses melalui serangkaian pemisahan. Penambahan bahan kimia ke dalam campuran bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemisahan minyak-gas-air.
Alat yang dipakai pada sistem pengolahan adalah berupa tangki skim, plate coalescer, dan unit flotasi. Pertama sekali gas dipisahkan dari campuran. Selanjutnya, dari campuran minyak-air ingin dihilangkan padatan dengan densitas rendah termasuk tetesan minyak. Karena densitas minyak lebih rendah dari air, maka cara pemisahannya adalah dengan flotasi secara gravitasi. Campuran minyak-air dibiarkan mengendap dalam suatu tangki skim. Selanjutnya minyak akan terpisah di bagian atas, sementara air di lapisan bawah akan diolah lebih lanjut untuk memisahkan minyak yang masih terkandung di dalamnya (Swan et al, 1994).
Selain tangki skim dapat pula dipakai corrugated plate settler, yaitu tumpukan corrugated plate dengan jarak tumpukan dan kemiringan tertentu. Pada alat pengapung tipe skim, luas penampang aliran yang semula besar akan berubah menjadi kecil yang mengakibatkan pengapungan akan terganggu. Hal ini disebabkan kecepatan partikel yang semula rendah pada penampang aliran yang besar akan berubah menjadi tinggi pada penampang aliran yang kecil. Untuk itu diperlukan alat yang berkapasitas besar tetapi mempunyai kecepatan partikel yang rendah, yaitu corrugated plate settler (Kusnarjo, 1997).
b. Pengolahan Air Akibat Tumpahan Minyak
Beberapa metoda yang dipakai dalam penanggulangan pencemaran akibat tumpahan minyak adalah:
1. Pembersihan Secara Mekanik
Pada cara ini digunakan alat yang berfungsi mengumpulkan tumpahan minyak (boom, skimmer, sponge), sehingga tumpahan minyak terlokalisir dalam suatu daerah yang sempit. Pegumpulan tumpahan minyak juga dapat dilakukan dengan menggunakan pompa Hidrostal yang bekerja secara hidrolik. Bagaimanapun, penggunaan metoda ini sangat bergantung kepada arus, amplitudo gelombang, dan pasang-surut laut, serta kecepatan angin.
Berbagai teknologi telah dicoba untuk mengembangkan alat pengumpul minyak tersebut. Vikoma International, pembuat skimmer terkemuka dunia, mengeluarkan Vikoma’s Kebab T-Disc Skimmer yang merupakan sebuah wadah dengan empat atau lebih cakram/piringan (disc) dilengkapi batang berputar. Wadah bercakram ini dipasang pada sebuah rangka modul. Begitu cakram berputar melalui antarmuka minyak-air, minyaknya akan menempel untuk kemudian dapat dipisahkan dan dialirkan pada penampung minyak. Dengan menggunakan pompa, minyak kemudian dialirkan pada wadah penyimpanan.
Sementara itu, Global Environtmental Services juga telah menguji coba Wier Minifly Skimmer yang dengan cepat mengumpulkan campuran minyak-air lalu dialirkan melalui pipa berdiameter 5 cm ke daerah pengumpul selanjutnya yang merupakan bagian kedua dari proses pengolahan yaitu Drum Oil Skimmer. Alat ini bekerja secara hidrolik dan mempunyai laju pengumpulan minyak yang cepat.
Unit ketiga yang diuji coba adalah Circus yang dikembangkan oleh perusahaan Swedia Erling Blomberg. Campuran minyak-air diarahkan dengan menggunakan boom untuk dimasukkan ke Circus, yang berperan sebagai lagoon buatan yang ditempatkan di sisi kapal atau daerah yang dekat ke tepi pantai. Kemudian campuran tersebut dilewatkan melalui ruang/kamar yang berputar. Minyak yang mengapung dapat diambil sementara airnya dikeluarkan melalui bagian bawah alat yang terbuka (Anonim, 1996).
2. Penggunaan Dispersant
Dispersant disemprotkan pada tumpahan minyak dengan menggunakan helikopter ataupun boat untuk memecahkan lapisan minyak menjadi tetesan, selanjutnya akan hilang dari permukaan karena terdegradasi secara alami. Penggunaan dispersant ini tidak akan efektif pada air yang tenang karena cara ini membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant tercampur dengan tumpahan minyak. Namun, keefektifan cara ini pada air yang bergelombangpun dibatasi oleh pembentukan air dalam emulsi minyak (muosse) dan rendahnya kontak antara dispersant-minyak.
Dispersant merupakan campuran bermacam bahan kimia. Mulanya, dispersant yang dipakai merupakan zat pengemulsi dari campuran hidrokarbon diantaranya hidrokarbon aromatik, fenol, dan senyawa lain dengan konsentrasi tinggi yang bersifat racun terhadap kehidupan laut. Tetapi kini telah diproduksi dispersant yang tidak menggunakan senyawa hidrokarbon.
3. Pembakaran Minyak Secara In Situ di Laut
Pembakaran minyak di laut mempunyai sejumlah batasan di antaranya ketebalan minyak dan jarak antara lokasi tumpahan dengan kapal untuk alasan keamanan. Pembakaran secara in situ dilakukan saat mengatasi tumpahan minyak dari kapal Exxon Valdez. Dilaporkan bahwa pada hari kedua setelah kejadian, 60.000 - 110.000 liter minyak yang tumpah dapat dihilangkan. Hal ini membutuhkan boom yang tahan api, sementara lapisan minyak yang harus dijaga adalah setebal 3 mm. Residu pembakaran akan berupa semi-padatan yang kaku yang dapat dengan mudah diangkat, sekalipun masih menyisakan polutan di lingkungan laut. Masalah lain yang dapat timbul adalah terjadinya pencemaran udara di sekitar lokasi kejadian. Evan et al (1995) dalam Swan et al (1994) telah berusaha mengidentifikasi asap dan kandungan racun yang dihasilkan yang memberikan pengaruh bagi atmosfer.
Berbagai informasi tentang karakteristik asap akibat pembakaran minyak bermunculan dari hasil studi yang dilakukan akibat adanya awan asap besar-besaran ketika ladang minyak Kuwait membara selama Perang Teluk pada Januari 1991. Asap yang terjadi segera meluas dengan ketinggian hingga 3 km dan bergerak ke arah timur hingga jarak 1500-2000 km. Hujan hitam berbau minyak terjadi selama 24 jam di Adana-Turki sekitar 1500 km barat laut Kuwait beberapa hari setelah kejadian. Hujan berbau minyak juga masih turun di bulan April, sekalipun tidak lagi berwarna hitam.
Analisis kimia yang dilakukan terhadap sampel aerosol dari pembakaran yang terjadi di Kuwait menunjukkan bahwa konstituen utamanya adalah: (I) gumpalan dari partikel jelaga berbentuk speris yang dilapisi senyawa sulfur; (ii) kristal kubik yang mengandung NaCl dan SO42-; (iii) debu-debu yang mengandung Si, Al, Fe, Ca, K, dan/atau S (Swan et al, 1994).
4. Bioremediasi
Alpha Environtmental Inc., Texas, pernah menyemprotkan mikroba alami yang memakan minyak pada tumpahan sekitar 100.000 barrel, dan mikroba itu kemudian mati setelah memakan tumpahan minyak tersebut. Sementara itu, Lee & Levy (1991) dalam Swan et al (1994) melaporkan hasil studi mereka tentang penggunaan bioremediasi terhadap tumpahan minyak yang mengandung lilin. Dikatakan bahwa minyak dengan konsentrasi yang rendah (0,3% v/v) dapat terdegradasi oleh bakteri alami; sementara minyak dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3%) lebih resinten (n-C11 bertahan hingga 6 bulan). Pencampuran dengan pupuk pertanian secara nyata telah memperkaya proses. Penambahan nutient telah membantu dalam penghilangan sejumlah hidrokarbon, tetapi faktor pembatas di sini adalah ketersediaan oksigen, dengan demikian penambahan harus terjadi pada lapisan permukaan aerobik.
Peristiwa Exxon Valdez juga telah memberikan kesempatan untuk melakukan percobaan terhadap berbagai metoda biologis untuk memperbaiki akibat tumpahan minyak berskala besar. Pada salah satu test, peneliti secara periodik memberikan pupuk N/P kepada bakteri di pantai. Pada daerah yang lain, sampel bakteri dibawa ke laboratorium, dibiakkan untuk meningkatkan biomassa, kemudian dimasukkan kembali ke daerah sekitar tumpahan miyak. Dari percobaan ini terlihat bahwa metoda ini beresiko rendah karena salah satu suplai makanan bakteri, yaitu pupuk, dapat dihilangkan pada tingkatan mana saja. Tetapi bila ditinjau lebih jauh lagi, dapat beresiko terhadap terjadinya eutrofikasi yang diakibatkan oleh pupuk dan juga kemungkinan keracunan akibat degradasi produk samping, yaitu berupa ammonia dan butoksietanol.

3.2 TEKNOLOGI BERBASISKAN MEMBRAN
Membran merupakan media pemisah yang bersifat selektif permeabel dengan menahan komponen tertentu dan melewatkan komponen lainnya. Proses pemisahan dengan menggunakan membran pada pemisahan fasa cair-cair umumnya didasarkan atas ukuran partikel dan beda muatan dengan gaya dorong (driving force) berupa beda tekanan, medan listrik, dan beda konsentrasi. Proses pemisahan dengan gaya dorong berupa beda tekanan dapat dibedakan menjadi proses reverse osmosis, nanofiltrasi, ultrafiltrasi, dan mikrofiltrasi. Perbedaan ini didasarkan attekanan operasi yang digunakan dan ukuran pori membran. Semakin kecil ukuran pori membran maka tekanan operasi yang digunakan akan semakin tinggi.
Pada umumnya membran yang digunakan pada skala industri terbuat dari material polimer sintetis dengan pertimbangan kestabilan dan ekonomi. Komponen utama dalam sistem pemisahan dengan membran adalah modul membran yang terdiri dari membran itu sendiri sebagai lapisan selektif beserta kontainer (casing) yang akan mengatur aliran fluida masuk dan keluar membran. Konfigurasi modul membran didesain berdasarkan kriteria yang menyangkut proses pemisahan, packing density, manajemen fluida, kemampuan menampung padatan tersuspensi, kemampuan untuk dicuci dan diregenerasi, dan kemudahan untuk diganti.
Secara umum, aplikasi teknologi pemisahan berbasiskan membran untuk pengolahan limbah dapat dilihat pada 


Beberapa proses yang menyangkut proses pemisahan dengan membran dalam pengembangan bidang bioteknologi kelautan umumnya berkaitan dengan membran sebagai media pemisahan molekuler dalam skala besar. Teknologi membran dalam bioteknologi kelautan dapat diaplikasikan secara khusus dalam hal:
1. Pemisahan padatan mikroskopis dan koloid dari larutan suspensi dengan menggunakan mikrofiltrasi.
2. Pengkonsentrasian partikel terlarut dari larutan yang encer dengan menggunakan nanofiltrasi atau reverse osmosis.
3. Fraksionasi campuran makrosolut dari larutan dengan menggunakan ultrafiltrasi.
4. Penghilangan partikel-partikel pengotor /bahan pencemar dalam umpam maupun produk dengan menggunakan ultrafiltrasi ataupun reverse osmosis (Wenten dan Adityawarman, 1999).
3.2.1 M i n y a k
a. Pengolahan Limbah Pada Kilang Minyak
Berbagai unit sistem pengolahan limbah ini telah dibangun dan terus dikembangkan untuk mendapatkan teknologi-teknologi baru yang dapat menghilangkan komponen-komponen yang terkandung di dalam limbah. Membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi kini sedang dievaluasi untuk menghilangkan tetes-tetes minyak serta padatan kolloid atau padatan tersuspensi lainnya. Menurut Swan et al (1994), teknologi ini cukup menjanjikan, tapi mungkin masih agak sulit dan cukup mahal bila diterapkan untuk pengolahan rutin karena besarnya jumlah limbah yang akan diolah.
b. Pengolahan Air yang Terkontaminasi Oleh Minyak
Hidrokarbon minyak merupakan kontaminan utama pada permukaan air. Dampak dari tumpahan atau buangan hidrokarbon lainnya, produk-produk minyak bumi, dan minyak mentah sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik-kimia hidrokarbon itu sendiri. Konsentrasi dari berbagai komponen yang terlarut bergantung pada komposisi minyak, temperatur, salinitas air, dan pada perbandingan volume air-minyak yang bercampur.
Sebuah studi telah dilakukan untuk mengolah air yang terkontaminasi oleh minyak dengan menggunakan membran ultrafiltrasi. Mekanisme pemisahan utama adalah penyaringan selektif (selective sieving) melalui pori-pori membran. Garam-garam terlarut, zat-zat non-ionik, dan partikel-partikel kecil (< 0.1 μ) akan melewati membran semi-permeabel pada fasa cair, sementara padatan yang lebih besar akan tertahan dan memekat.
Studi dilakukan dengan menggunakan air payau yang mengandung kadar padatan terlarut 10.000 mg/l. Air tersebut dikontaminasi dengan campuran minyak dengan konsentrasi 3000 ppm dalam botol berisi 1 liter air. Untuk mendapatkan kesetimbangan antara fasa air dan minyak, botol diputar selama 24 jam dalam rotator mekanis.
Membran ultrafiltrasi yang dipakai adalah membran TFC seri-G dengan aliran silang (cross flow ) yang kontinu; dibuat oleh Desalination System, Inc. (DSI). Unit ini mempunyai tekanan operasi 200 psig (13,8 bar) dan temperatur 400C yang dapat dioperasikan secara paralel baik dengan 2 membran maupun 1 membran. Masing-masing membran mempunyai luas 12 in2 dengan range MWCO 1.000-15.000. Membran yang telah dipakai dapat dibersihkan dengan menggunakan Flocon (IPA 411) untuk menghilangkan foulants yang menutupi permukaan membran.
Untuk mengurangi fouling, maka terlebih dahulu air dikoagulasi dengan menggunakan Cat floc K-10. Mekanisme utamanya adalah dimana koagulasi dapat memisahkan kontaminan organik termasuk langkah destabilisasi kolloid dan pengendapan. Destabilisasi kolloid memungkinkan terpisahnya kolloid dengan terbentuknya flok-flok yang lebih besar sehingga dapat dengan mudah diendapkan atau disaring.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa pra-koagulasi dapat menyebabkan menurunnya laju fouling dan luas dari irreversibel fouling serta meningkatkan waktu fouling. Lebih penting lagi, pra-koagulasi ini juga dapat menaikkan mutu air yang dihasilkan. Selain itu, sampel yang dikoagulasi mempunyai laju fluks yang lebih tinggi dibandingkan sampel yang tidak dikoagulasi. Pada sampel yang dikoagulasi, partikel-partikel kolloidnya lebih membentuk lapisan konsentrasi polarisasi di permukaan membran (reversible fouling) daripada berdifusi ke dalam pori-pori membran (irreversible fouling). Minimisasi fouling akan meningkatkan umur membran dan menekan biaya operasi (Tansel et al, 1995).
3.2.2 Penghilangan Logam Berat
Proses membran dengan modul tubular cross-flow Memtek dirancang untuk menghilangkan kontaminan yang mengendap dari limbah industri. Membran yang diproduksi oleh Wheelabrator Engineered System ini telah dipasang sebanyak 200 unit di seluruh dunia dengan tujuan utama menghilangkan logam-logam berat hingga kadar yang diizinkan. Sistem ini beroperasi dengan mengolah limbah yang sebelumnya telah diolah lebih dulu dengan bahan kimia lalu dimasukkan ke tangki konsentrat, darimana air dipompakan secara kontinu melalui bagian dalam membran tubular dengan kecepatan tinggi. Pada tekanan operasi normal 3,5 bar, air bersihnya keluar melalui pori berukuran 0,1 mikron; sementara padatan yang mengendap tetap tinggal di dalam loop resirkulasi yang diumpankan kembali ke tangki konsentrasi. Turbulensi dari slurry yang diresirkulasi dan sistem backpulsing mencegah padatan terakumulasi di permukaan membran (Anonim, 1995).
Sementara itu, logam berat selenium umumnya terdapat bersama dengan senyawa sulfur atau sulfida. Selenium ini terdapat dalam limbah pengilangan minyak dan pusat pembangkit listrik Berbagai teknik pengolahan dilakukan untuk menghilangkan selenium, di antaranya pengendapan dengan kapur, adsorpsi pada
 alumina teraktivasi, reverse osmosis, ion exchange, dan reduksi kimia (Stoner, 1994).
Sedangkan untuk menghilangkan logam-logam seperti cadmium, tembaga, kromium, dan nikel dari limbah industri pelapisan logam, dapat dipakai reverse osmosis. Operasi dilakukan pada tekanan 200-300 psi (13.6-20.4 atm).
3.2.3 Aplikasi Teknologi Membran Yang Lain
a. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi mempunyai bidang penerapan yang luas dalam teknologi membran. Dalam pengolahan limbah, ultrafiltrasi diterapkan untuk limbah yang mengandung beban organik tinggi dan turbiditas tinggi sehingga diperoleh filtrat yang dapat dibuang dengan mudah. Dalam banyak kasus, konsentratnya dapat diolah lebih jauh dengan evaporasi atau pembakaran sebelum dibuang.
Flok-flok hidroksida yang dihasilkan selama proses flokulasi dapat dengan mudah dihilangkan dengan ultrafiltrasi. Logam-logam yang berguna dapat diperoleh dari larutan pekatnya. Untuk pemisahan flok dari sistem pengolahan limbah secara biologis dengan menggunakan lumpur aktif, penggunaan tangki pengendap konvensional yang membutuhkan lahan yang luas, dapat digantikan oleh ultrafiltrasi (Heitmann, 1990).
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa budidaya laut (mariculture), yang membutuhkan air segar, dapat terpolusi dengan sendirinya karena sisa-sisa pakan. Ultrafiltrasi dapat digunakan dalam mengurangi ketergantungan air laut segar pada tambak sistem tertutup (closed loop recycle pond ) yang disebabkan karena kondisi air tambak yang relatif jenuh atau tercemarnya perairan pantai tanpa menghentikan siklus budidaya. Ultrafiltrasi dalam sistem ini berfungsi untuk mengurangi pengotor-pengotor dalam air tambak seperti sisa metabolisme dan bakteri patogen dimana air tambak yang bebas pengotor dapat dimasukkan kembali ke dalam tambak (Wenten dan Adityawarman, 1999).
b. Reverse Osmosis
Reverse osmosis dapat menghilangkan kandungan senyawa organik dan anorganik dari air. Konsentratnya dapat terus di-up-grade sampai kadar tertentu sehingga zat-zat yang terlarut dapat di-recovery secara ekonomis. Air yang telah diolah kemudian dapat digunakan untuk kebutuhan produksi. Dengan menggunakan proses ini, masalah suplai air, pengolahan air, dan recovery zat-zat yang berguna dapat diatasi sekaligus.
Umumnya reverse osmosis digunakan untuk mendapatkan air bersih untuk berbagai kebutuhan terutama air minum. Reverse osmosis mengurangi kandungan garam, karbonat, total hardness, sulfat, dan nitrat dari air umpan. Zat-zat yang tidak terlarut dalam air juga dihilangkan seperti kolloid dan bakteri. Selanjutnya permeat dapat dicampur lagi dengan air umpan. Proses ini merupakan proses yang murah untuk memproduksi air minum dengan kandungan garam yang rendah.
Di sektor industri juga terdapat banyak kemungkinan penggunaan reverse osmosis, seperti pengolahan air untuk umpan air ketel dan air pendingin, untuk mendapatkan air murni yang dipakai dalam pembuatan suatu komponen, atau produksi air desalinasi untuk industri farmasi. Reverse osmosis juga diterapkan untuk pembersihan air setelah dipakai dalam industri, misalnya untuk menghilangkan logam-logam berat. Banyak masalah recovery untuk mendapatkan bahan yang berharga dalam efluennya menggunakan reverse osmosis, dimana larutan dipekatkan kemudian bahan kimia yang berharga dapat diambil dan diumpankan kembali ke sistem.Selain itu, reverse osmosis juga dapat digunakan untuk desalinasi, misalnya air dari menara pendingin. Dalam hal ini, air hasil desalinasi dapat diumpankan ulang ke sistem resirkulasi. Air yang dihasilkan dapat digunakan kembali untuk proses industri dan konsentratnya diolah lagi dalam unit tambahan sehingga dapat dibuang ke badan air (Heitmann, 1990). Dengan demikian, terlihatlah bahwa penerapan reverse osmosis dapat mengurangi beban limbah dari industri.
PERBANDINGAN TEKNOLOGI MEMBRAN TERHADAP TEKNOLOGI KONVENSIONAL
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa beberapa teknologi konvensional yang dipakai pada proses pengendalian pencemaran mempunyai berbagai kelemahan di antaranya:
• memerlukan bahan kimia ataupun mikroba, sehingga membutuhkan biaya yang lebih tinggi,
• membutuhkan tempat yang lebih luas (untuk beberapa proses),
• menimbulkan beberapa pengaruh buruk seperti eutrofikasi, produk samping yang berbahaya, serta dapat pula menjadi polutan baik bagi laut maupun udara.
Teknologi pemisahan berbasiskan membran pada saat ini semakin terlihat atraktif sebagai alternatif pengganti proses-proses konvensional. Sekalipun penerapan teknologi membran yang ada sekarang belum mencakup semua bidang penerapan dari teknologi konvensional, seperti penanggulangan langsung tumpahan minyak di laut. Namun, teknologi ini mempunyai beberapa keunggulan yakni antara lain:
• pemisahan komponen-komponen dapat dioperasikan pada temperatur kamar sehingga dapat mencegah kerusakan pada produk-produk yang sensitif terhadap temperatur tinggi,
• konsumsi energi dan bahan kimia aditif yang cukup rendah,
• tidak menghasilkan produk samping berupa limbah, dan 
• bersifat modular dan kompak sehingga mudah dikembangkan dengan tidak memakan tempat yang luas.
Sedangkan beberapa kelemahannya antara lain:
• polarisasi konsentrasi, hal ini dapat diatasi dengan pengaturan fluida dan hidrodinamika sistem membran, dan
• fouling yang dapat di atasi dengan melakukan pencucian dan metode regenerasi seperti backwash (Wenten dan Adityawarman, 1999).
Dari sudut pandang ekonomi dan tingginya kualitas produk hasil, pemisahan dengan membran terlihat sangat potensial untuk digunakan dalam perkembangan bioteknologi kelautan dalam skala industri baik untuk proses baru maupun untuk menggantikan proses konvensional. Dengan dikembangkannya metode regenerasi membran seperti backshock maka kendala-kendala dalam pengoperasian membran dapat dikurangi dan akan meningkatkan jumlah produk.
PENUTUP
Permasalahan pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut merupakan isu yang penting untuk ditangani mengingat besarnya ketergantungan terhadap sumber daya pesisir dan laut serta luasnya dampak yang diakibatkan pencemaran tersebut. Untuk itu perlu dilakukan langah-langkah pencegahan dan penanggulangan terhadap berbagai kegiatan yang dapat memacu terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan laut.
Masalah utama yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan laut adalah pembungan limbah yang tidak terolah sempurna atau bahkan tidak diolah sama sekali ke perairan laut. Limbah tersebut berasal dari berbagai kegiatan baik yang berlangsung di darat maupun di laut; berasal limbah industri ataupun domestik; yang sampai ke lingkungan laut baik karena kegiatan operasional rutin maupun karena kecelakaan.
Berbagai sarana pengolahan limbah dibangun dan terus dikembangkan dengan menggunakan bermacam teknologi dan metoda. Di antara teknologi yang cukup atraktif dan sudah diaplikasikan secara luas adalah teknologi yang berbasiskan membran. Teknologi ini mempunyai beberapa keunggulan di antaranya tidak membutuhkan tambahan bahan kimia yang besar dalam prosesnya sehingga tidak menambah masalah pencemaran yang baru. Beberapa jenis membran telah dipakai dalam proses pengolahan limbah seperti reverse osmosis, ultrafiltrasi, dan mikrofiltrasi.

DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rachmat Benny, 1999, Kebijaksanaan, Strategi, dan Program Pengendalian Pencemaran dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
Anonim, 1987, Perubahan Lingkungan dan Pengaruhnya, dalam Majalah Tanah Air No. 75 Th.XII, Agustus-September 1987.
Anonim, 1995, Membrane Filtration System, dalam Water & Environtment Vol.4 No.32, Januari 1995.
Anonim, 1996, Sophisticated Separation, dalam Water & Environtment Vol.5 No.43, Januari 1995.
Charade, Titi Heri Subandri, 1983, Sekali Lagi Tentang Penanggulangannya : Pencemaran Air Akibat Industri Minyak, dalam Harian Pikiran Rakyat, edisi 15 Mei 1983.
Eckenfelder Jr., W.Wesley, 1989, Industrial Water Pollution Control, 2nd edition, Singapore: McGraw Hill International Editions.
Heitmann, Hans-Gunter, 1990, Saline Water Processing, Weinheim-Jerman: VCH Verlagsgesllschaft.
Made, 1989, Pengaruh Logam berat Bagi Lingkungan, dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 25 Januari 1989.
Mannion, A.M. dan Bowlby, S.R., 1992, Environtmental Issues in the 1990’s, England: John Wiley & Sons.
Pramudianto, Bambang, 1999, Sosialisasi PP No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
2002 digitized by USU digital library 16
Scott, Keith, 1995, Handbook of Industrial Membrane, Edisi 1, USA: Elsevier Advanced Technology.
Siahaan, N.H.T, 1989a, Pencemaran Laut dan kerugian yang Ditimbulkan (I), dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 8 Juni 1989.
Siahaan, N.H.T, 1989b, Pencemaran Laut dan kerugian yang Ditimbulkan (II), dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 9 Juni 1989.
Stoner, Daphne L., 1994, Biotechnology for The Treatment of Hazardous Waste, USA: Lewis Publisher.
Sumadhiharga, Kurnaen, 1995, Zat-Zat yang Menyebabkan Pencemaran di Laut, dalam Jurnal Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia: Lingkungan dan Pembangunan 15 (4), 376-387.
Swan, J.M., Neff, J.M., dan Young, P.C., 1994, Environtmental Implications of Offshore Oil and Gas Development in Australia - The findings of an independent scientific review, Sydney-NSW: Australian Petroleum Aexploration Association Limited.
Tansel, Berrin, Regula, Jayadev, dan Shalewitz, Robert, 1995, Treatment of Fuel Oil and Crude Oil Contaminated Waters by Ultrafiltration Membranes, dalam Jurnal Desalination 102 (1995) 301-311.
Wenten, I.G., dan Adityawarman, D., 1999, Prospek PemanfaatanTeknologi Membran dalam Bidang Bioteknologi Kelautan, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar