Jumat, 25 November 2011

Soal UTS ICHTYOLOGI (MIPA'09)

Jawablah pertanyaan dibawah ini!

1. Apa yang anda ketahui tentang Ichtyologi? jelaskan kedudukannya dalam biologi dan mengapa anda perlu
    mempelajarinya!
2. Diantara 10 sistem anatomi tubuh ikan, menurut anda mana yg paling penting berhubungan dengan imunitas
    ikan? mengapa?
3. Mengapa ikan perlu diklasifikasikan? Jelaskan dan sebutkan klasifikasi ikan yang anda ketahui!
4. Jika anda ingin mengetahui umur ikan, apa yang anda lakukan? Jelaskan!
5. Ikan air tawar dan ikan air laut berbeda dalam media hidupnya, jelaskan sistem osmoregulasinya!





             "HIDUP HANYA SEKALI...RENCANAKAN DENGAN MATANG, KARENA MASA 
             DEPAN ANDA DITENTUKAN OLEH ANDA!  BUKAN ORANG LAIN!"




Mohon diperhattikan!
    - jawaban dikumpulkan hari ini di Bu Indah!
    - selamat mengerjakan

Sabtu, 12 November 2011

BAHAN BACAAN UNTUK ANGKT 2009 (Kuliah DINAMIKA POPULASI IKAN)

DINAMIKA POPULASI

DINAMIKA POPULASI

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perairan Indonesia yang meliputi dua pertiga wilayahnya merupakan potensi sumberdaya hayati perikanan yang besar, dan belum seluruhnya dapat dikelola dengan baik. Mengingat sangat mendesaknya kebutuhan masyarakat akan protein hewani yang berasal dari ikan, maka sudah seharusnya pemanfaatan sumberdaya hayati perairan yang akan menunjang perluasan kesempatan kerja dan dapat meningkatkan pendapatan nelayan serta perbaikan gizi masyarakat. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk serta kondisi geografis yang memerlukan peningkatan produksi komoditi perikanan.
Perikanan merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Dalam lingkungan sumberdaya ikan yaitu tempat hidup sumberdaya ikan, seperti biota dan factor alamiah sekitarnya, dilakukan pegolahan sumberdaya ikan, yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus, seperti kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan.
Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam bidang parikanan, diantaranya adalah usaha perikanan sebagai usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, seperti kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.
Penangkapan ikan bertujuan untuk memperoleh ikan diperairan, dengan alat atau cara apapun,termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menolah atau mengawetkan ikan. Jadi usaha penangkapan ikan memerlukan manajemen perikanan yang cukup komplek, terutama sekali dalam hal yang berkaitan denga mengelola sumberdaya ikan. Dengan kata lain penangkapan ikan harus mempertimbangkan dinamika atau perubahan stock ikan yang akan menjadi tujuan penankapan, untuk maksud tersebut diperlukan ilmu dinamika populasi. ( Bahan Kuliah Dinamika Populasi, 2007 ).
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dalam mengkaji suatu stock ikan di suatu perairan maka, perlu penerapan yang khusus dilakukan dalam lengkajinya. Dan salah satu lokasi yang tepat dalam hal ini ialah Pelabuhan Perikanan Samudra Bungus.
Untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya kelautan berbagai cara dapat dilakukan, antara lain mengusahakan dan mengembangkan perikanan dalam rangka peningkatan daya guna dan daya saing komoditi itu sendiri. Adanya usaha pendayagunaan komoditi perikanan baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta telah dirasakan adanya kemajuan yang mendorong pembangunan negara secara umum dan perekonomian rumah tangga secara khusus.
Salah satu komoditi yang potensial untuk diusahakan adalah perikanan, karena ikan merupakan komoditi yang dapat dipanen sepanjang tahun atau tidak terlalu tergantung pada musim. Ikan merupakan komoditi yang sangat dibutuhkan oleh manusia baik yang dikonsumsi langsung maupun yang melalui proses lebih lanjut, seperti yang dikemukakan Dahuri Rokhmin (2002) sudah banyak penelitian yang menunjukkan besarnya manfaat mengkonsumsi ikan, baik dari segi kesehatan, maupun dari harganya yang relatif lebih murah dari pada sumber protein lain seperti daging.
Dilihat dari perkembangannya perikanan laut Indonesia jauh masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain hal seperti ini disebabkan oleh berbagai faktor. Diantara faktor penghambat tersebut berupa kurangnya; pengetahuan, permodalan, law enforcement yang akhirnya para nelayan melakukan aktifitasnya dengan cara yang sangat tradisional.
Masalah utama dalam perikanan sebagian besar berasal dari kegiatan manusia seperti penangkapan, masyarakat perikanan, nelayan, pengusaha dan rantai pemasarannya. Konsep penangkapan ikan merupakan fungsi dari lima parameter yang meliputi : (1) penangkapan (2) kelimpahan (3) rekruitment (4) pertumbuhan dan (5) mortalitas alamiah
Dalam mempelajari dinamika populasi ikan tidak terlepas dengan pengkajian stok ikan yang tujuannya memberikan saran tentang pemanfaatan yang optimum sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Pengkajian stok itu sendiri adalah upaya pencarian tingkat pemanfaatan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tangkapan maksimum perikanan dalam bentuk bobot. Prasyarat untuk identifikasi stok adalah kemampuan untuk memisahkan spesies yang berbeda. Pengkajian stok dilakukan secara terpisah bagi tiap stok dan hasilnya digabung dalam suatu pengkajian perikanan multi spesies.

1.2 Tujuan dan Manfaat Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum dinamika populasi adalah untuk mengetahui secara fisik/nyata mengenai dinamika populasi,. Mengetahui jenis alat tangkap yang di gunakan oleh nelayan, jumlsh alat penangkapan di pelabuha dan menduga potensi lestari (MSY) ikan di perairan setempat.
Manfaat praktikum ini adalah merndapatkan informasi yang berguna bagi praktisi perikanan setempat dalam mendapatkan hasil tangkapan serta dalam penggunaan alat tangkap yang sesuai dengan tujuan penangkapan.untuk mengetahui dinamika populasi di lapangan, mengetahui jumlah ikan yang ditangkap pertahun, berapa stok ikan yang masih ada dalam perairan, dan berapa persentase kemungkinan jumlah ikan yang akan ditangkap 1 (satu) tahun yang akan datang menambah pengetahuan dan wawasan penulis,

II. METODE PRAKTIKUM

2. 1. Waktu dan Tempat
Praktikum Dinamika Populasi ini telah dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 28 April 2010 pada pukul 15.00 sampai selesai, di Laboratorium Ekologi Perairan Fakiltas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru.
3. 2. Bahan dan Alat
Peralatan yang digunakan dalam praktikum Dinamika Populasi ini adalah alat dokumentasi dan alat tulis serta alat pendukung lainnya. Bahan yang digunakan dalam praktikum dinamika populasi adalah kertas grafik atau peta waduk, kacang hijau, kacang kedelai dan jagung yang digunakan sebagai ikan yang ditangkap.
3. 3. Metode Prakikum
Metode praktikum yang digunakan adalah metode survei (dilaboratorium) dimana pratikum ini dilaksanakan dilaboratorium dengan menghitung jumlah ikan yang tertangkap (jagung, kacang kedelai dan jacang hijau) pada saat ditebarkan di atas kertas grafik atau peta lokasi waduk. Dalam pratikim ini digunakan 2 metode, yaitu : 1) Metode Enumersal langsung ( Perhitungan Parsial) dengan rumus : dan Var Nt = dan Var N = . 2) Metode Mark-Rekapture (Sensus Tunggal) dengan rumus: N = dan (Sensus berganda) dengan rumus: N = .
3.4. Prosedur Praktikum
Persiapkan bahan (kacang kedelai, jagung dan kacang hijau) dan alat yang akan digunakan dalam penelitian, kemudian hitung luas darikolam tersebut yang tergambar pada kertas grafik, lalu buat denah waduk pada kertas grafik dan dibagi menjadi lima bagian (kolam) dan disebarkan diatas kertas grafik dan hitung pada setiap kolam untuk nilai a masing-masing luas 1ha (perhitungan parsial).
Untuk perhitungan sensus tunggal dan berganda, sebarkan kacang atau jagung dan hitung jumlah semua yang tertangkap pada kolam pada kertas grafik, kemudian capurkan dengan kacang hijau dan hitung lagi ikan yang tertangkap bertanda. Kemudian dilepaskan lagi kemudian ditangkap kembali dan hitung rasio dari ikan yang ditandai dan ditangkap kembali.
3.5. Analisis Data
Dalam praktikum ini penulis melakukan survei langsung (dilaboratorium) dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1) Quisioner mempraktekkan langsung, yaitu alat yang digunakan untuk memperoleh data dengan cara membuat daftar pertanyaan terlebih dahulu, yaitu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam praktikum ini yang diisi oleh para responden. 2) perhitungan langsung, yaitu proses pengumpulan data dengan menggunakan metode Enumeral langsung dan Mark-Rekapture.



III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil selama melakukan praktikum dinmika populasi tersebut, diperoleh data yaitu sebagaiberikut:.
3.1.1. Metode Enumersal langsung ( Perhitungan Parsial)
Diketahiu luas waduk atau danau 80 ha, masing- masing dibagi menjadi 5 kisi, masing-masing luasnya 1 ha (a). Lima kisi diantaranya ditetapkan secara acak sebagai unit pengamatan dan dihitung populasi ikannya melalui foto udara. Dimana a1: 7 ha, a2: 9 ha, a3: 10 ha, a4: 5 ha, a5: 8 ha.
a.
N :
N : 16 x 39 = 624
b. Var Nt = c. Var N = .
Var Nt : Var N =
Var Nt : Var Nt =
Var Nt : : 3,70 Var Nt = = 4440
3.1.2. Metode Mark-Rekapture
A . Sensus Tunggal
Rumusnya N =

Diketahui : C : 126, m : 85, r : 40
N =
N = = 267,75
B . Sensus Berganda
Rumusnya : N = .
Ct Mt Ct x Mt It ∑rt N
51 0 0 0 0 0
60 51 3060 6 6 510
53 105 5565 18 14 398
46 150 6900 12 26 265



3.2 Pembahasan
1.Penghitungan Enumersal langsung
Metode ini digunakan untuk memperoleh penghitungan langsung dengan sedikit potensi modifikasi agar dapat digunakan seefektif metode Mark/Recapture yang digunakan untuk penaksiran secara cepat kelimpahan ikan diwaduk faperika (kita akan bicarakan ini lebih lanjut pada bahasan lain) terutama sekali individu dewasa (jantan primer/ jantan dominan) sebagai komponen dari populasi. Bagaimanapun, pada saat ini lebih atau kurang sebuah metode penghitungan langsung, kita tidak bisa mengetahui seberapa akurat metode tersebut. Pada saat ini penghitungan langsung mengarah kepada sejumlah bias yang akan membawa kita kepada eror (kesalahan) dimana akan terjadi over atau under-estimasi ukuran populasi ikan di waduk faperika.
2. Metode Mark/Recapture
Metode statistik Mark/Recapture dibagi mejadi 2 kategori : Metode Mark/Recapture untuk populasi tertutup dan populasi terbuka. (Kursus ini kita akan lebih konsentrasi dalam metode untuk populasi terbuka).
Jika kita berencana menggunakan sampling jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu, misal mirip dengan waktu yang digunakan untuk sensus ikan) untuk mendapat perkiraan populasi, akan menjadi seperti menggunakan metode Mark/Recapture untuk populasi tertutup.
Populasi tertutup adalah sebuah populasi satwa yang tertutup dari faktor tambahan (kelahiran dan imigrasi) dan faktor pengurangan (kematian dan emigrasi). Jadi populasi dianggap konstan selama waktu penelitian.
Unsur pembatas populasi tertutup :
1. Pembatas Geografis : Populasi tertutup oleh pembatas fisik sehingga satwa tidak berpindah keluar area dimana populasi tersebut terperangkap
2. Pembatas Demografis : Tertutup dari faktor kelahiran, imigrasi, kematian dan emigrasi.



IV.KESIMPULAN DAN SARAN


4.1.Kesimpulan
Dalam pratikum ini, guna untuk mempelajari dinamika populasi yaitu : untuk mengetahui secara fisik/nyata mengenai dinamika populasi,. Mengetahui jenis alat tangkap yang di gunakan oleh nelayan, jumlsh alat penangkapan di pelabuha dan menduga potensi lestari (MSY) ikan di perairan setempat.
Dalam pratikum ini, digunakan 2 metode, yaitu :
1) Metode Enumersal langsung ( Perhitungan Parsial) dengan rumus : dan Var Nt = dan Var N = .
2) Metode Mark-Rekapture (Sensus Tunggal) dengan rumus: N = dan (Sensus berganda) dengan rumus: N =

4.2.Saran
Dari hasil praktikum dinamika populasi ini diharapkan perlunya perhatian dari pemerintah terutama terhadap kesejahteraaan masyarakat, terutama pada sektor perikanannya. Padahal apabila dikembangkan dengan optimal akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pemerintah disarankan agar dapat memberikan arahan atau bimbingan kepada nelayan-nelayan yang terdapat dalam hal penangkapan, penanganan pasca panen maupun budidaya, sehingga mereka dapat mengetahui cara melakukan penangkapan dengan tetap memperhatikan kelestarian dari ikan-ikan tersebut.
Pemerintah juga memberikan perhatian terhadap masyarakat nelayan dalam meningjkatkan penghasilan dengan memberikan modal agar nelayan dapat meningkatkan hasil perikanan.

Dinamika stok ikan : Faktor Penyebab dan Alternatif Penanggulangannya (Oleh : Eko Sri Wiyono dan Alimuddin)


(MATERI KULIH UNTUK ANGKATAN 2009)
Pada awal perkembangan perikanan dunia, beberapa ahli beranggapan bahwa stok ikan laut sangat besar dan memiliki daya pulih (recovery) yang cepat sehingga bisa dieksploitasi secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif yang lama. Namun kenyataannya, hanya dalam jangka waktu sekitar 20 tahun, stok ikan laut dunia sudah berkurang sekitar 80% [1] dan saat ini kondisinya sudah mengkhawatirkan.
1. Overfishing
Pada awal tahun 1950-an, FAO mencatat adanya pertumbuhan sektor perikanan yang sangat cepat, baik di belahan bumi bagian utara maupun di sepanjang pantai negara-negara yang saat ini dikenal sebagai negara berkembang. Dimana-mana penangkapan berskala industri yang umumnya menggunakan trawl (ada juga dengan purse seining dan long-lining) berkembang dan berkompetisi dengan perikanan skala kecil atau tradisional (artisanal fisheries) yang berperalatan sederhana.
Persaingan yang tidak seimbang ini sangat jelas terlihat di perairan dangkal (kedalaman 10-100 m) di daerah tropis. Perikanan tradisional menjadikan ikan tangkapan mereka untuk konsumsi penduduk lokal, sedangkan perikanan skala besar menggunaan trawl dengan udang sebagai target utama untuk ekspor dan membuang hasil tangkapan yang tidak memiliki nilai ekonomis (by-catch). Dalam periode tahun 1950-an hingga 1960-an, peningkatan usaha penangkapan telah meningkatkan jumlah hasil tangkapan yang sangat besar dan melebihi laju petumbuhan umat manusia [2]. Hal ini telah membuat para penyusun kebijakan dan politisi menjadi percaya bahwa penambahan jumlah kapal yang cepat dan tak terkendali telah melipat-gandakan jumlah tangkapan dalam waktu singkat serta menurunkan hasil tangkapan dalam jangka panjang. Kegagalan perikanan tangkap pertama kali dilaporkan untuk kasus anchovy di Peru pada tahun 1971-1972. Pada awalnya, hancurnya perikanan anchovy ini sering dikaitkan dengan kejadian alam El Niño. Namun demikian, data yang terkumpul menunjukkan bahwa jumlah tangkapan aktual (sekitar 18 juta ton), yang telah melebihi dari apa yang dilaporkan yaitu 12 juta ton menunjukkan bukti lain. Terbukti, runtuhnya perikanan anchovy tersebut adalah lebih banyak karena pengaruh overfishing.
Pada pertengahan tahun 1970-an, total tangkapan ikan di Atlantik utara juga telah menurun. Trend penurunan yang cepat lebih jelas terlihat pada akhir tahun 1980-an dan diawal tahun 1990-an sebagian besar stok ikan cod menjadi habis di New England dan Canada bagian timur.
Kondisi stok ikan laut di kawasan Asia-Pasifik juga tidak jauh berbeda. Kawasan Asia-Pasifik yang saat ini menjadi penyumbang terbesar produksi ikan dunia juga sudah mulai overfishing. Dalam 25 tahun terakhir, penurunan stok ikan di kawasan Asia-Pasifik sekitar 6-33% [3].
Lebih lanjut, diperkirakan bahwa stok ikan laut dunia saat ini yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tinggal hanya 24%. Sekitar 52% stok sudah termanfaatkan secara maksimal dan tidak mungkin dieksploitasi lebih lanjut, dan sisanya adalah sudah overeksploitasi atau stoknya sudah menurun [4].
Salah satu jalan yang mungkin bisa ditempuh untuk membantu pemulihanan stok ikan laut akibat overfishing adalah dengan cara menurunkan kapasitas penangkapan. Disadari betul bahwa penambahan kapasitas armada penangkapan merupakan salah satu ancaman terhadap kelangsungan sumberdaya laut, dan juga penangkapan itu sendiri.
Perubahan perahu skala kecil berteknologi rendah menjadi kapal besar berteknologi tinggi, subsidi pemerintah, kebijakan open-access pada beberapa wilayah perairan dunia, dan beberapa aspek ekonomi lainnya telah disadari meningkatkan kapasitas penangkapan ikan. Peningkatan kapasitas penangkapan ikan yang tak terdeteksi seperti perubahan alat bantu penangkapan seperti echosounder, GPS, dsb. juga diyakini telah mendorong tingkat overcapacity dibeberapa wilayah perairan.
2. Faktor Iklim
Selain karena overcapacity, perubahan lingkungan diperkirakan menjadi salah satu penyebab penurunan drastis stok ikan di Laut Atlantik Utara atau di dunia seperti yang dilaporkan dalam pertemuan ahli biologi perikanan beberapa waktu yang lalu di London [5]. Perubahan lingkungan yang dimaksud terutama adalah peningkatan suhu permukaan laut. Ekosistem laut, khususnya di Atlantik Utara, sangat mudah terpengaruh dampak fluktuasi kondisi alam dibanding dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Projek penelitian Global Ocean Ecosystem Dynamics (GLOBEC) telah berhasil mengidentifikasi mekanisme alam yang mengatur dinamika populasi dan produktivitas laut. Mereka menduga bahwa penurunan stok ikan laut yang turun secara drastis sebagai akibat dari kesalahan mengimplementasikan ilmu ekologi dan ekonomi dalam dekade terakhir.
Para ahli eko-biologi GLOBEC telah menemukan respon biologi terhadap perubahan lingkungan dalam ekosistem laut dari laut Baltik hingga Antartika. Terbukti bahwa perubahan biologis dalam 10 tahun terakhir telah memberikan pengaruh terhadap kelimpahan sumberdaya alam. Tim juga menemukan pengaruh variasi suhu air dan kekuatan angin terhadap rantai makanan (food web) di Atlantik utara. Kepunahan dan kegagalan dalam memulihkan populasi ikan herring di laut Baltik dan stok ikan cod di Newfoundland, Kanada (yang penangkapannya telah dihentikan) menunjukkan bahwa faktor lain selain penangkapan telah berperan besar dalam menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Okrh sebab itu, dalam mengembangkan kebijakan perikanan berkelanjutan, penentuan berapa banyak ikan yang hilang akibat penangkapan dan berapa yang diakibatkan oleh faktor lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Sebab, bila kita salah memprediksi hal itu, akan berdampak serius terhadap masyarakat.
Perubahan iklim dan faktor lingkungan, selain berdampak terhadap overfishing, juga diyakini sebagai penyebab penurunan stok ikan dunia. Telah diketahui sejak dulu bahwa variasi iklim dapat mempengaruhi restoking burayak (juvenile), khususnya ikan-ikan yang hidup di daerah sekitar pantai. Musim pemijahan dan kelimpahan burayak telah diduga setiap tahun melalui survey dan data penangkapan. Informasi ini telah terintegrasi dengan pengaruh iklim dan karenanya dapat digunakan untuk menentukan kuota penangkapan yang optimal.
3. Pengaruh Akuakultur
Penggunaan ikan hasil tangkapan dari alam sebagai bahan pakan ikan budidaya menjadi tekanan langsung terhadap stok ikan di alam [6]. Budidaya ikan laut yang umumnya bersifat karnivora membutuhkan suplemen minyak ikan yang diekstraksi dari ikan laut sebagai sumber asam lemak esensial untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Akuakultur juga mungkin bisa menyebabkan hilangnya stok ikan di alam secara tidak langsung melalui perubahan kondisi lingkungan, pengumpulan benih alam, interaksi rantai makanan, introduksi jenis ikan asing dan penyakit yang menyerang populasi ikan alami, dan polusi nutrient [2].
Naylor dan kolega memberikan alternatif yang sangat bagus untuk menanggulangi tantangan serius yang dihadapi akuakultur. Menurut mereka, usaha akuakultur selayaknya dilakukan dengan membudidayakan ikan dengan tingkat tropik rendah (rendah pada rantai makanan); mengurangi input tepung ikan dan minyak ikan dalam pakan; pengembangan sistem budidaya terintegrasi; dan praktek budidaya ramah lingkungan. International
 Centre for Living Aquatic Resources Management (ICLARM) mendukung penuh pendekaran tersebut dan menambahkan poin kelima: memberikan akses untuk konsumen miskin dan produsen skala kecil. Pengembangan pulau-pulau kecil mungkin juga bisa dijadikan sebagai penyangga rusaknya stok ikan laut yang juga bisa dijadikan tumpuan mata pencaharian masyarakat. Akuakultur dapat juga me-restocking populasi ikan terumbu karang yang nilainya mahal yang telah berkurang karena overfishing [7].
Pelepasan burayak hasil budidaya juga dapat membantu pemecahan masalah sedikitnya ikan kecil yang berhasil bertahan di area penangkapan. Cara seperti itu telah dilakukan untuk 90 jenis ikan di Jepang dalam 30 tahun terakhir ini, khususnya untuk kasus kerang-kerangan (scallop) dan bulu babi (sea urchin). Akuakultur dan pemulihan stok perlu terus dilakukan, dan melanjutkan restoking dengan pengawasan yang ketat.
4. Alternatif Penanggulangan
Berdasarkan ulasan di atas, diperlukan usaha untuk membangun kembali ekosistem laut, dan kemungkinan pemulihan ekologi secara praktis untuk laut yang dapat berdampingan dengan usaha pemanfaatan sumber daya laut untuk konsumsi umat manusia. Satu hal yang perlu dicatat disini bahwa tidak ada yang bisa meyakinkan bahwa sumberdaya laut mampu memenuhi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah. Pola konvensional yang digunakan untuk menganalisa sumberdaya perikanan, dan untuk mengatur jumlah tangkapan, diyakini tidak mampu untuk menghambat laju kerusakan sumberda ikan.
Kapitalisasi penangkapan secara global telah berdampak pada penurunan stok secara gradual, ikan yang berumur panjang dari ekosistem laut, telah tergantikan oleh ikan dengan siklus pendek dan invertebrate, dan merubah rantai makanan menjadi lebih sederhana dan penurunan kapasitas daya dukung seperti bentuk sebelumnya.
Bila trend ini ingin dihentikan, maka dibutuhkan pengurangan penangkapan secara besar-besaran, dengan dukungan peraturan penangkapan yang efektif. Dibutuhkan suatu kemauan politik yang kuat untuk hal ini, namun dalam kenyataannya masih minim kemauan ke arah ini, sebagai akibatnya jumlah wilayah penangkap yang kolaps semakin banyak, dan ikan tangkapan terus mengalami penurunan.
Tingginya ketidakpastian pengelolaan penangkapan telah menjadi salah satu penyebab hilangnya beberapa stok ikan. Karena itu disarankan untuk melakukan penutupan fishing grounds guna mencegah overeksploitasi dengan cara membuat batas maksimum volume tangkapan (upper limit on fishing mortality). Marine protected areas (MPAs), dengan kombinasi usaha kuat untuk menjaga area yang bisa dieksploitasi, telah menunjukkan hasil positif untuk mengembalikan penurunan stok (2). Pada beberapa kasus, MPAs telah berhasil digunakan untuk memproteksi spesies lokal, memulihkan biomassa, dan sedikit menjaga populasi ikan di luarnya dengan melepas ikan burayak (juvenile) atau ikan dewasa. Meskipun migrasi ikan menjadi titik kelemahan dari MPA, namun tetap akan membantu memulihkan spesies ikan dengan menghindarkan kerusakan akibat trawl, dan menurunkan kematian ikan burayak. Penggunaan zona larangan-tangkap dalam MPAs akan menjadi lebih efektif bila didukung dengan teknologi tinggi seperti monitoring dengan satelit, yang saat ini digunakan untuk meningkatkan hasil tangkapan.
Lebih lanjut, MPAs yang mencakup suatu habitat laut mungkin juga akan mampu mencegah kepunahan stok ikan tertentu, mirip dengan kehutanan dan habitat darat lainnya yang telah bisa menjaga spesies liar. Hal ini akan menuntun kepada identifikasi pola reservasi yang akan menjadi contoh di daerah perikanan terdekat, dan selanjutnya mempengaruhi komunitas pantai dan masyarakat sekitarnya yang tertarik dalam reservasi sumber daya ini.
Sekali lagi, bahwa ikan hasil tangkapan dan populasi alami untuk menyuplai kebutuhan penduduk dunia adalah tidak tak terbatas. Dengan demikian, sudah seharusnya usaha lain difokuskan untuk mengembalikan populasi ikan alami yang turun drastis dengan melakukan restoking besar-besaran dan mengurangi total kapasitas penangkapan. Pengelolaan yang tepat terhadap ikan laut di alam akan menghasilkan kemajuan yang berarti, tetapi sayangnya, hal ini membutuhkan pre-kondisi seperti keinginan politik untuk meng- implementasikan perubahan-perubahan dan membuat persetujuan antar negara untuk penggunaan laut secara bersama.
5. Penutup
Dari uraian singkat di atas, jelas bahwa stok ikan dipengaruhi oleh berbagai factor baik yang berasal dari dalam maupun luar sistem perikanan. Perikanan budidaya yang diharapkan sebagai alternatif sumber produksi ikan, ternyata belum mampu memenuhi harapan. Mengingat masih besarnya ketergantungan sumber ikan dari laut, maka langkah pengelolaan perikanan ke depan harus mempertimbangkan semua aspek yang terlibat dalam sistem perikanan tersebut. Suatu metode pendekatan yang mendekati dengan tujuan tersebut adalah Marine Protected Areas (MPAs). MPAs yangb dilengkapi dengan indikator-indikator yang lebih mudah dipahami dan bernilai secara ekologi diharapkan akan mampu mengembalikan kerusakan ekosistem perikanan yang mengalami kerusakan selama ini.
Daftar Pustaka
  1. Myers, R.A. and B. Worm, 2003, Rapid world depletion of predatory fish communities, Nature, 423, 280-283.
  2. Pauly, D., V. Christensen, S. Guenette, T.J. Pitcher, U.R. Sumaila, C.J. Walters, R. Watson, and D. Zeller. 2002, Towards sustainability in world fisheries, Nature, 418, 689-695.
  3. FAO, 2004. Ovefishing on the increase in Asia-Pacific seas. http://www.fao.org/newsroom/en/news/2004/49367/index.html
  4. FAO, 2005. Depleted fish stocks require recovery efforts. http://www.fao.org/newsroom/en/news/2005/100095/
  5. Schiermeier, Q., 2004, Climate findings let fishermen off the hook. Nature, 428, 4.
  6. Naylor, R.L., R.J. Goldburg, J.H. Primavera, N. Kautsky, M.C.M. Beveridge, J. Clay, C. Folke, J. Lubchenco, H. Mooney, and M. Troell, 2000, Effect of aquaculture on world fish supplies, Nature, 405, 1017-1024.
  7. Alimuddin dan E.S. Wiyono. 2005. Domestikasi laut atau restocking? INOVASI Vol. 5/XVII/November 2005.

Jumat, 11 November 2011

MATERI KULIAH BIOTEKNOLOGI (ANGKATAN 2008)

Materi dibawah ini sebagai bahan diskusi, hasil diskusi saudara dikumpulkan minggu depan tanggal 20 November 2011
APLIKASI TEKNOLOGI BERBASISKAN MEMBRANDALAM BIDANG BIOTEKNOLOGI KELAUTAN: PENGENDALIAN PENCEMARAN
(ERNI MISRAN, ST.,MT. Fakultas teknikProgram Studi Teknik KimiaUniversitas Sumatera Utara)

PENDAHULUAN
Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia selain dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan lokal maupun internasional, juga memiliki sumber daya laut yang sangat kaya dan penting antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang, mangrove, bahan tambang, dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang menarik. Laut juga mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan biota laut lainya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, laut yang merupakan satu sumber daya alam, sangat perlu untuk dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian dan/atau perusakan laut menjadi sangat penting. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.
Akhir-akhir ini pencemaran laut telah menjadi suatu masalah yang perlu ditangani secara sungguh-sungguh. Hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping menghasilkan produk-produk yang diperlukan bagi kehidupannya, kegiatan manusia menghasilkan pula produk sisa (limbah) yang dapat menjadi bahan pencemar (polutan). Cepat atau lambat polutan itu sebagian akan sampai di laut. Hal ini perlu dicegah atau setidak-tidaknya dibatasi hingga sekecil mungkin.
Di Indonesia, teknologi untuk mengolah berbagai polutan dengan menggunakan bahan-bahan kimia masih sangat mahal. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem pemisahan yang cukup selektif dan ekonomis untuk menghilangkan polutan ini. Teknologi pemisahan berbasiskan membran pada saat ini semakin terlihat atraktif sebagai alternatif pengganti proses-proses konvensional. Teknologi pemisahan dengan membran ini mempunyai spektrum pemisahan yang sangat luas dan selektif yang sudah diaplikasikan secara luas. Hal yang paling penting dalam penggunaan teknologi membran dalam bioteknologi kelautan adalah efisiensi dalam perolehan produk terutama dalam proses produksi produk-produk biologi yang sangat murni dan mahal seperti agar untuk kultur media atau bahkan bahan-bahan farmasi seperti antibiotik, vaksin, dan lain-lain dalam skala besar. Hal penting lainnya adalah minimasi limbah dalam perairan pantai serta pengurangan kandungan mikoorganisme atapun garam dalam sistem pendingin yang menggunakan air laut sebagai media pertukaran panas. Kedua aplikasi ini memerlukan sistem pemisahan berbasiskan membran yang sangat selektif (Wenten dan Adityawarman, 1999).

PENCEMARAN LAUT
2.1 PENGERTIAN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto, 1999). Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) memberikan pengertian bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap sumber daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan manfaatnya (Siahaan, 1989a).

2.2 JENIS-JENIS POLUTAN
Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Mannion dan Bowlby (1992) menggolongkannya dari segi konservatif/non-konservatif :
a) Golongan non-konservatif terbagi dalam tiga bentuk yaitu :
• buangan yang dapat terurai (seperti sampah dan lumpur), buangan dari industri pengolahan makanan, proses distilasi (penyulingan), industri-industri kimia, dan tumpahan minyak;
• pupuk, umumnya dari industri pertanian;
• buangan dissipasi (berlebih), pada dasarnya adalah energi dalam bentuk panas dari buangan air pendingin, termasuk juga asam dan alkali.
b) Golongan konservatif terbagi dalam dua bentuk yaitu :
• partikulat, seperti buangan dari penambangan (misalnya : tumpahan dari tambang batubara, debu-debu halus), plastik-plastik inert;
• buangan yang terus-menerus (persistent waste) yang terbagi lagi dalam tiga bentuk :
(I) logam-logam berat (merkuri, timbal, zinkum);
(ii) hidrokarbon terhalogenasi (DDT dan pestisida lain dari hidrokarbon terklorinasi, dan PCBs atau polychlorinated biphenyl); dan
(iii) bahan-bahan radioaktif.
Seringkali polutan yang masuk ke laut berbentuk kompleks, dalam arti dapat mengandung kedua golongan di atas yaitu konservatif dan non-konservatif. Sebagai contoh adalah buangan yang berasal dari penduduk (limbah domestik) yang umumnya mengandung buangan organik tetapi juga mengandung bahan berlogam, minyak dan pelumas, deterjen, organoklorin, dan buangan industri lainnya.
Sementara itu GESAMP (The Grooup of Experts on Scientific Aspects of Marine Pollution) memberikan 8 klasifikasi polutan yakni hidrokarbon terhalogenasi termasuk PCBs dan pestisida, misalnya DDT; minyak bumi dan bahan-bahan yang dibuat dari minyak bumi; zat kimia organik seperti biotoksin laut (marine biotoxin), deterjen; pupuk buatan (kimia) maupun alami termasuk yang terdapat di dalam kotoran yang berasal dari pertanian; zat kimia anorganik, terutama logam berat seperti merkuri dan timah hitam; benda-benda padat (sampah) baik organik maupun anorganik; zat-zat radioaktif; dan buangan air panas (thermal water).

2.3 SUMBER- SUMBER POLUTAN
Menurut Alamsyah (1999), pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) maupun kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas kontaminasi secara fisik dan kimiawi.
Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : penebangan hutan (deforestation), buangan limbah industri (disposal of industrial wastes), buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes), buangan limbah cair domestik (sewage disposal), buangan limbah padat (solid wastes disposal), konversi lahan mangrove dan lamun (mangrove and swamp conversion), dan reklamasi di kawasan pesisir (reclamation).
Sedangkan kegiatan atau aktivitas di laut (sea-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : perkapalan (shipping), dumping di laut (ocean dumping), pertambangan (mining), eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil exploration and exploitation), budidaya laut (mariculture), dan perikanan (fishing).
Lebih jauh lagi, cara masuknya sumber-sumber polutan ke laut diterangkan oleh Mannion dan Bowlby (1992). Ada limbah yang dibuang ke laut secara langsung yaitu berupa hasil kegiatan di pantai maupun lepas pantai, atau secara tidak langsung sebagai bahan yang terbawa melalui aliran sungai; ada pula limbah yang dengan sengaja dibawa ke laut lepas untuk ditimbun (dumping). Sumber polutan yang terpenting berasal dari kegiatan di darat (sekitar 95%), yaitu berupa buangan industri yang dilepas secara reguler juga berupa limbah cair domestik. Sebagai contoh adalah buangan rutin berupa limbah cair radioaktif dari pabrik pengolahan nuklir Sellafield yang mengakibatkan Laut Irlandia sebagai laut yang mempunyai kadar pencemaran radioaktif tertinggi di dunia. Untuk kasus di Indonesia terjadi di desa Kilensari, daerah pantai utara Jawa, dimana air buangan dan ampas tebu dari pabrik gula yang berada di desa tersebut telah menyebabkan banyak ikan yang mati dan air laut di sekitar muara sungai menjadi kotor sehingga tidak memungkinkan pencarian ikan pada musim penggilingan tebu (Anonim, 1987).
Sementara itu, sumber pencemaran akibat kegiatan di laut terutama berasal dari buangan kapal-kapal baik karena kegiatan operasional rutin (sengaja) maupun karena kecelakaan (tidak sengaja). Pencemaran akibat kecelakaan mengakibatkan masuknya polutan dalam jumlah besar, seperti akibat kebocoran kapal supertanker minyak yang menyebabkan laut tercemar. Yang lebih penting lagi adalah akibat kegiatan rutin yang secara reguler membuang polutan ke lingkungan laut karena hal ini nerupakan cara termurah untuk membuang limbah. Contohnya adalah pembuangan limbah yang telah diolah sebagian atau belum diolah sama sekali, limbah cair dan air pendingin dari industri, sludge, tumpahan dari penambangan dan akibat pengerukan, mesiu yang tidak terpakai lagi, dan buangan radioaktif. Khusus untuk radioaktif, buangannya bukan saja berasal dari pusat pembangkit tenaga nuklir, pabrik pengolahan bahan bakar nuklir, dan kegiatan pengolahan uranium; tetapi juga berasal dari kegiatan umum lainnya seperti pembakaran batubara. Bila batubara dibakar maka akan memancarkan partikel-partikel radioaktif ke atmosfer yang akan kembali lagi ke laut. Budidaya laut (mariculture), yang membutuhkan air segar, dapat tercemar dengan sendirinya akibat kelebihan pakan yang akhirnya mendorong terjadinya proses eutrofikasi; dan pestisida yang digunakan agar ikan terhindar dari parasit dapat menyebabkan matinya invertebrata lainnya.
Kegiatan rekreasi dan kepariwisataan telah menjadi aspek penting dalam peningkatan ekonomi, khususnya bagi penduduk pesisir. Akan tetapi kegiatan ini 2002 digitized by USU digital library 3
telah membawa dampak lingkungan yang tidak selalu positif. Buangan limbah dari hotel dan restoran di sepanjang pantai, serta meningkatnya permintaan air bersih dapat memberi ancaman berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir. Di sisi lain, tidak ada atau kurangnya titik/tempat tambatan kapal (ponton) yang dipersiapkan pada kawasan taman wisata alam laut, menyebabkan jangkar kapal sangat berpeluang merusak terumbu karang.
 
2.4 DAMPAK PENCEMARAN LAUT
Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan yang telah disebutkan sebelumnya adalah sangat beragam. Ada beberapa polutan yang dapat langsung meracuni kehidupan biologis. Ada pula polutan yang menyerap banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi. Ada polutan yang mendorong tumbuhnya jenis-jenis binatang tertentu. Dan ada pula polutan yang berakumulasi di dalam jaringan makanan laut yang tidak dapat dihancurkan oleh sel-sel hidup (bioaccumulation).
Masalah pencemaran yang paling besar di banyak tempat di Indonesia adalah limbah cair domestik dan industri. Hal ini umumnya disebabkan tidak atau kurang memadainya fasilitas untuk menangani dan mengelola limbah tersebut. GESAMP telah bersepakat mempelajari beberapa polutan yang khusus yaitu PCBs; pestisida organoklorin; logam berat seperti merkuri, timbal, arsen, kadmium; deterjen; dan biotoksin laut. Zat-zat ini diberi prioritas yang tinggi karena toksisitas, persistensi, dan sifatnya yang berakumulasi dalam organisme-organisme yang hidup di laut dan pengaruhnya pada jaringan makanan laut menunjukkan kadar yang tinggi. Mereka masuk melalui plankton dan kemudian dimakan oleh pelbagai binatang laut seperti binatang-binatang karang yang dapat mengumpulkan konsentrasi dari pestisida yang sangat tinggi.
2.4.1 Industri Pertanian
Masalah pencemaran yang dikaitkan dengan pertanian adalah sedimentasi pestisida dan pupuk. Aliran air hujan dari daerah pertanian juga mengandung bahan makanan yang besar seperti senyawa nitrogen yang jika sampai ke laut dapat menyebabkan masalah eutrofikasi.
Pestisida digunakan dengan maksud untuk pembasmian hama dalam pertanian. Hanya saja, sifat toksisitas pestisida telah diketahui dapat menimbulkan kanker. Selain itu, bahaya utama yang telah diketahui dari sisa pestisida adalah kemampuan untuk merusak biota laut dikarenakan daya akumulasinya pada biota laut. Dalam konsentrasi yang rendah (karena sudah terencerkan), pestisida biasanya memang tidak sampai mematikan ikan, tetapi menghambat pertumbuhan. Tetapi untuk beberapa organisma laut, terutama jenis crustacea seperti udang dan kepiting, senyawa-senyawa organoklorin dan organofosfat telah bersifat letal sekalipun dalam dosis rendah.
2.4.2 Konservasi Lahan Mangrove
Konservasi lahan mangrove (hutan bakau) memberikan dampak tersendiri. Mangrove sangat berperan dalam siklus kehidupan berbagai jenis biota laut. Mangrove juga merupakan ekosistem yang amat produktif. Hasil dari sistem ini (terutama melalui rontokan daun) yang kemudian membusuk menjadi bahan dasar makanan yang kaya akan protein dan memelihara mata rantai makanan organisme perairan, seperti moluska, kepiting, ikan, udang, cacing dan binatang kecil lainnya. Fungsi lain hutan mangrove adalah sebagai pelindung dan stabilisator garis pantai sehingga melindungi pantai dari bahaya abrasi. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai pengikat lumpur dalam pembentukan lahan, dimana lahan tersebut dapat
2002 digitized by USU digital library 4
digunakan untuk berbagai kegiatan seperti tempat pemancingan atau tempat wisata. Buah dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat dan makanan ternak.
Umumnya, kerugian akibat kerusakan hutan mangrove dirasakan seiring dengan menurunnya produksi ikan yang merupakan sumber mata pencaharian. Pengrusakan sebagian besar terjadi karena kegiatan reklamasi dengan pengurugan (penimbunan) untuk berbagai tujuan seperti perluasan pemukiman, perluasan obyek pariwisata dan rekreasi, demikian juga halnya dengan perluasan lahan tambak. Kerusakan terhadap mangrove yang tersisa juga dipercepat dengan pengambilan kayu yang membabi buta.
2.4.3 Logam Berat
Unsur logam berat masuk ke lingkungan laut melalui sungai dan udara; umumnya sebagian besar masuk melalui aliran sungai, hanya unsur-unsur yang menguap saja yang banyak dibawa oleh udara seperti merkuri dan selenium. Dampak pencemaran akibat logam-logam berat adalah dikarenakan sifatnya yang tak dapat terurai dan mudah diabsorpsi oleh biota laut sehingga terakumulasi dalam tubuh. Unsur logam berat dapat masuk ke dalam tubuh biota laut melalui 3 cara yaitu melalui permukaan tubuh, terserap insang, dan rantai makanan. Selain mengganggu ekosistem, unsur logam berat secara tidak langsung juga merusak perikanan dan kesehatan manusia.
Dampak yang ditimbulkan akibat keracunan oleh logam berat ini bermacam-macam :
• Akibat keracunan akut karena merkuri pada manusia antara lain mual, muntah-muntah, diare berdarah, kerusakan ginjal serta dapat mengakibatkan kematian. Keracunan kronis ditandai dengan peradangan mulut dan gusi, pembengkakan kelenjar ludah dan mengeluarkan ludah secara berlebihan. Tanda-tanda keracunan pada manusia terjadi apabila kadar metil merkuri dalam darah adalah 0,2 μg.
• Keracunan akut karena timbal akan mengakibatkan terbakarnya mulut; keracunan kronis menyebabkan anemia, mual, sakit di sekitar perut, serta mengakibatkan kelumpuhan. Konsentrasi timbal 0,05 mg/l dapat menimbulkan bahaya pada lingkungan laut.
• Dampak dari konsumsi tembaga dalam konsentrasi besar pada manusia adalah kerusakan pada ginjal; sementara pada biota laut, tembaga bersifat racun bahkan lethal (tergantung pada konsentrasinya) untuk jenis algae dan moluska. Konsentrasi tembaga sebesar 0,05 mg/l membahayakan untuk lingkungan laut.
• Sedangkan arsen, merupakan salah satu penyebab kanker bagi manusia yang menyerang sistem pencernaan, pernapasan, syaraf, hati, kulit, dan darah. Pada konsentrasi 0,05 mg/l telah menimbulkan bahaya pada lingkungan laut (Made, 1989).
2.4.4 Buangan Air Panas (Thermal Water)
Meningkatnya jumlah dan besarnya pusat tenaga listrik telah menimbulkan pencemaran yang akut di beberapa daerah. Pusat tenaga listrik menggunakan air pendingin dalam jumlah besar untuk mendinginkan kondensor atau mengontrol temperatur reaktor nuklir. Air panas juga mengandung ion-ion logam beracun atau unsur-unsur radioaktif yang kemudian dibuang melalui sungai, danau, dan muara sehingga membahayakan lingkungan.
Kebanyakan biota yang hidup sekarang telah menduduki batas atas dari toleransi suhunya, dimana pada keadaan ini proses kimia dalam tubuhnya adalah sangat efisien, maka perubahan yang hanya menaikkan temperatur beberapa derajat saja dapat menyebabkan kematian ikan dan plankton. Kalaupun perubahan temperatur tersebut tidak sampai menimbulkan kematian, tetapi dapat mengganggu
 sistem biologi yang mendasar dengan menghasilkan perubahan seperti dalam reproduksi dan pertumbuhan.
Tenaga listrik dapat menimbulkan kelebihan panas dan menyokong berkembang biaknya organisme-organisme yang berhubungan erat dengan racun ciguatera. Racun ciguatera dapat mempengaruhi sistem syaraf. Racun ini tidak selalu menimbulkan akibat yang fatal tetapi sangat mengganggu si penderita dan pengaruhnya dapat berlangsung dari beberapa hari sampai bertahun-tahun. Si penderita kadang-kadang sangat sensitif, bahkan terhadap ikan yang tidak mengandung racun pun. Racun ini sering terdapat pada ikan-ikan di daerah sempit (Idler, 1972 dalam Sumadhiharga, 1995). Beberapa penjangkitan dari keracunan ciguatera telah dilaporkan dari daerah dekat sebuah pabrik listrik di sebelah selatan Miami.
2.4.5 Biotoksin Laut
Meskipun jenis biotoksin sangat banyak terdapat di laut, tapi hanya jenis ciguatoksin, clupeotoksin, sanrin, histomin, dan tetrodoksin yang diduga berhubungan erat dengan masalah pencemaran. Asal mula biotoksin belum diketahui, tetapi pengamatan lingkungan menunjukkan bahwa polutan seperti senyawa logam, bekas barang perlengkapan perang yang dibuang ke laut, limbah panas, limbah industri, kapal-kapal rusak, dan lain-lain mungkin merangsang siklus keracunan siltasi dalam biota laut. Biota yang terpengaruh oleh pencemaran tadi adalah alga, moluska, ikan, atau vertebrata lainnya. Gangguan terhadap ekosistem laut seperti badai, kegiatan pengerukan, pertambangan, peledakan, letusan gunung berapi, perubahan salinitas, pencemaran panas, dan sebagainya mungkin dapat menyebabkan perubahan ekologis yang mengakibatkan ekosistem laut menghasilkan perkembangan biota-biota beracun. Jika suatu terumbu karang mati, maka daerah tersebut segera akan ditumbuhi oleh alga filamentus yang meningkatkan produksi ikan herbivora secara luar biasa (Johannes, 1970 dalam Sumadhiharga, 1995).
2.4.6 Tumpahan Minyak
Sumadhiharga (1995) memaparkan dampak-dampak yang disebabkan oleh pencemaran minyak di laut. Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak antara lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkna keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya. Secara langsung minyak akan menyebabkan kematian pada ikan disebabkan kekurangan oksigen, keracunan karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Batas toleransi minyak pada air laut berada antara 0,001 - 0,01 ppm, dan apabila melewati batas tertinggi dari kadar tersebut maka bau minyak mulai timbul.
Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak adalah terutama bagi biota laut yang masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan. Jadi, akumulasi minyak di dalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia.
Aktivitas lalu lintas tanker di lautan menjadi potensi penting bagi pencemaran ekologi maritim. Khususnya insiden-insiden kebocoran yang kerap memuntahkan kandungan minyak dari tanker sehingga terbuang ke laut, baik akibat kecelakaan karena tabrakan antara sesama kapal maupun karena terbentur karang atau gunung es. Di antara kecelakaan besar yang terjadi adalah yang menimpa kapal Torrey

Canyon (di daerah Cornwall-Inggris, 1976, menumpahkan 117.000 ton), Amoco Cadiz (Inggris, 1978, menumpahkan 223.000 ton), Exxon Valdez (Alaska, 1989, menumpahkan 11.2x106 ton sepanjang 3800 km dari garis pantai), dan Mega Borg (Texas, 1990, menumpahkan 500.000 gallon).
Pencemaran minyak, secara langsung dapat mengganggu keadaan lingkungan laut pada tempat-tempat rekreasi di pantai. Juga dapat mengganggu pemukiman penduduk sepanjang pantai serta menggangu peternakan/binatang piaraan penduduk sepanjang pantai. Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut.Ikan yang hidup di sekeliling laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Pohon-pohon mangrove yang masih muda (berumur 4-5 tahun) juga musnah akibat pencemaran minyak ini.
Ketika terjadi pencemaran akibat kapal tanki Witwater di daerah laut Atlantik menuju Terusan Panama yang menumpahkan 20.000 barrel diesel dan bunker C, banyak pohon-pohon mangrove yang masih muda musnah, demikian pula banyak tumbuhan alga dan hewan invertebrata. Peristiwa yang lebih menghebohkan adalah peristiwa pecahnya kapal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut sekitar 10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 ekor lagi didapati tertutupi oleh genangan minyak. Pembuangan air ballast di Alaska sekitar Pebruari-Maret 1970 telah pula mencemari seribu mil jalur pantai dan diperkirakan paling sedikit 100 ribu ekor burung musnah (Siahaan, 1989b).
 
PENGENDALIAN PENCEMARAN LAUT
Setelah mengetahui berbagai dampak yang ditimbulkan dari polutan-polutan lingkungan laut, maka sangatlah perlu dilakukan upaya pengendalian bahkan pencegahan terhadap pencemaran laut mengingat akibatnya yang tidak saja dirasakan oleh biota-biota laut tetapi juga oleh manusia. Upaya pengendalian pencemaran laut perlu dilaksanakan sejak awal, dalam arti limbah-limbah yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia, baik di darat maupun di laut, haruslah diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke laut.
Banyak sekali sumber polutan yang menyebabkan terjadinya pencemaran di laut. Karena cakupannya sangat luas, maka pada paper ini pengendalian
 pencemaran laut lebih ditekankan pada masalah pencemaran oleh minyak yang meliputi masalah eksplorasi, pengilangan, dan tumpahan minyak. Sedangkan beberapa topik yang lain hanya akan disinggung sekilas saja.
 
3.1 PENERAPAN BERBAGAI TEKNOLOGI KONVENSIONAL
Berbagai metoda pengolahan limbah telah digunakan dan dikembangkan pada berbagai industri. Pengolahan yang dilakukan dapat merupakan pengolahan secara fisik, kimia, dan biologi ataupun merupakan gabungannya.
3.1.1 M i n y a k
a. Pengolahan Limbah Pada Kilang Minyak
Limbah yang terpenting pada proses pengilangan minyak bumi, berdasarkan volume produksi dan potensi untuk menimbulkan dampak terhadap lingkungan, adalah air yang dihasilkan dari proses penambangan. Pada aktivitas produksi (penambangan), keluarnya campuran air bersama minyak/gas dari formasi batuan selalu tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan saturasi air dalam formasi selalu bertambah sepanjang berlangsungnya produksi sehingga permeabilitas relatif formasi terhadap air pun akan semakin besar (Charade, 1983). Selain berasal dari air fossil yaitu air yang telah terdapat ribuan tahun di dalam minyak; air yang terdapat pada proses penambangan juga berasal dari air injeksi (biasanya air laut) yaitu air yang diinjeksikan ke sumur minyak untuk menaikkan tekanan di sumur menaikkan produksi minyak dan gas, biasanya untuk sumur tua. Air ini mengandung campuran yang kompleks dan beberapa senyawa kimia yang jika terdapat dalam kosentrasi yang cukup tinggi dapat merusak ekosistem laut bila langsung dibuang ke laut. Komponen yang terkandung antara lain hidrokarbon minyak, padatan tersuspensi, logam, zat radioaktif, asam organik, dan ion-ion anorganik.
Air yang dihasilkan bersama minyak dan gas dari sumur ini harus dihilangkan sebelum minyak mentah ataupun gasnya dapat diproses. Campuran minyak-gas-air ini diolah dengan tujuan untuk memisahkan minyak sebanyak mungkin, baru kemudian dibuang ke laut.
Sebelum air hasil penambangan ini dibuang ke laut, campuran minyak-gas-air ini harus diproses melalui serangkaian pemisahan. Penambahan bahan kimia ke dalam campuran bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemisahan minyak-gas-air.
Alat yang dipakai pada sistem pengolahan adalah berupa tangki skim, plate coalescer, dan unit flotasi. Pertama sekali gas dipisahkan dari campuran. Selanjutnya, dari campuran minyak-air ingin dihilangkan padatan dengan densitas rendah termasuk tetesan minyak. Karena densitas minyak lebih rendah dari air, maka cara pemisahannya adalah dengan flotasi secara gravitasi. Campuran minyak-air dibiarkan mengendap dalam suatu tangki skim. Selanjutnya minyak akan terpisah di bagian atas, sementara air di lapisan bawah akan diolah lebih lanjut untuk memisahkan minyak yang masih terkandung di dalamnya (Swan et al, 1994).
Selain tangki skim dapat pula dipakai corrugated plate settler, yaitu tumpukan corrugated plate dengan jarak tumpukan dan kemiringan tertentu. Pada alat pengapung tipe skim, luas penampang aliran yang semula besar akan berubah menjadi kecil yang mengakibatkan pengapungan akan terganggu. Hal ini disebabkan kecepatan partikel yang semula rendah pada penampang aliran yang besar akan berubah menjadi tinggi pada penampang aliran yang kecil. Untuk itu diperlukan alat yang berkapasitas besar tetapi mempunyai kecepatan partikel yang rendah, yaitu corrugated plate settler (Kusnarjo, 1997).
b. Pengolahan Air Akibat Tumpahan Minyak
Beberapa metoda yang dipakai dalam penanggulangan pencemaran akibat tumpahan minyak adalah:
1. Pembersihan Secara Mekanik
Pada cara ini digunakan alat yang berfungsi mengumpulkan tumpahan minyak (boom, skimmer, sponge), sehingga tumpahan minyak terlokalisir dalam suatu daerah yang sempit. Pegumpulan tumpahan minyak juga dapat dilakukan dengan menggunakan pompa Hidrostal yang bekerja secara hidrolik. Bagaimanapun, penggunaan metoda ini sangat bergantung kepada arus, amplitudo gelombang, dan pasang-surut laut, serta kecepatan angin.
Berbagai teknologi telah dicoba untuk mengembangkan alat pengumpul minyak tersebut. Vikoma International, pembuat skimmer terkemuka dunia, mengeluarkan Vikoma’s Kebab T-Disc Skimmer yang merupakan sebuah wadah dengan empat atau lebih cakram/piringan (disc) dilengkapi batang berputar. Wadah bercakram ini dipasang pada sebuah rangka modul. Begitu cakram berputar melalui antarmuka minyak-air, minyaknya akan menempel untuk kemudian dapat dipisahkan dan dialirkan pada penampung minyak. Dengan menggunakan pompa, minyak kemudian dialirkan pada wadah penyimpanan.
Sementara itu, Global Environtmental Services juga telah menguji coba Wier Minifly Skimmer yang dengan cepat mengumpulkan campuran minyak-air lalu dialirkan melalui pipa berdiameter 5 cm ke daerah pengumpul selanjutnya yang merupakan bagian kedua dari proses pengolahan yaitu Drum Oil Skimmer. Alat ini bekerja secara hidrolik dan mempunyai laju pengumpulan minyak yang cepat.
Unit ketiga yang diuji coba adalah Circus yang dikembangkan oleh perusahaan Swedia Erling Blomberg. Campuran minyak-air diarahkan dengan menggunakan boom untuk dimasukkan ke Circus, yang berperan sebagai lagoon buatan yang ditempatkan di sisi kapal atau daerah yang dekat ke tepi pantai. Kemudian campuran tersebut dilewatkan melalui ruang/kamar yang berputar. Minyak yang mengapung dapat diambil sementara airnya dikeluarkan melalui bagian bawah alat yang terbuka (Anonim, 1996).
2. Penggunaan Dispersant
Dispersant disemprotkan pada tumpahan minyak dengan menggunakan helikopter ataupun boat untuk memecahkan lapisan minyak menjadi tetesan, selanjutnya akan hilang dari permukaan karena terdegradasi secara alami. Penggunaan dispersant ini tidak akan efektif pada air yang tenang karena cara ini membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant tercampur dengan tumpahan minyak. Namun, keefektifan cara ini pada air yang bergelombangpun dibatasi oleh pembentukan air dalam emulsi minyak (muosse) dan rendahnya kontak antara dispersant-minyak.
Dispersant merupakan campuran bermacam bahan kimia. Mulanya, dispersant yang dipakai merupakan zat pengemulsi dari campuran hidrokarbon diantaranya hidrokarbon aromatik, fenol, dan senyawa lain dengan konsentrasi tinggi yang bersifat racun terhadap kehidupan laut. Tetapi kini telah diproduksi dispersant yang tidak menggunakan senyawa hidrokarbon.
3. Pembakaran Minyak Secara In Situ di Laut
Pembakaran minyak di laut mempunyai sejumlah batasan di antaranya ketebalan minyak dan jarak antara lokasi tumpahan dengan kapal untuk alasan keamanan. Pembakaran secara in situ dilakukan saat mengatasi tumpahan minyak dari kapal Exxon Valdez. Dilaporkan bahwa pada hari kedua setelah kejadian, 60.000 - 110.000 liter minyak yang tumpah dapat dihilangkan. Hal ini membutuhkan boom yang tahan api, sementara lapisan minyak yang harus dijaga adalah setebal 3 mm. Residu pembakaran akan berupa semi-padatan yang kaku yang dapat dengan mudah diangkat, sekalipun masih menyisakan polutan di lingkungan laut. Masalah lain yang dapat timbul adalah terjadinya pencemaran udara di sekitar lokasi kejadian. Evan et al (1995) dalam Swan et al (1994) telah berusaha mengidentifikasi asap dan kandungan racun yang dihasilkan yang memberikan pengaruh bagi atmosfer.
Berbagai informasi tentang karakteristik asap akibat pembakaran minyak bermunculan dari hasil studi yang dilakukan akibat adanya awan asap besar-besaran ketika ladang minyak Kuwait membara selama Perang Teluk pada Januari 1991. Asap yang terjadi segera meluas dengan ketinggian hingga 3 km dan bergerak ke arah timur hingga jarak 1500-2000 km. Hujan hitam berbau minyak terjadi selama 24 jam di Adana-Turki sekitar 1500 km barat laut Kuwait beberapa hari setelah kejadian. Hujan berbau minyak juga masih turun di bulan April, sekalipun tidak lagi berwarna hitam.
Analisis kimia yang dilakukan terhadap sampel aerosol dari pembakaran yang terjadi di Kuwait menunjukkan bahwa konstituen utamanya adalah: (I) gumpalan dari partikel jelaga berbentuk speris yang dilapisi senyawa sulfur; (ii) kristal kubik yang mengandung NaCl dan SO42-; (iii) debu-debu yang mengandung Si, Al, Fe, Ca, K, dan/atau S (Swan et al, 1994).
4. Bioremediasi
Alpha Environtmental Inc., Texas, pernah menyemprotkan mikroba alami yang memakan minyak pada tumpahan sekitar 100.000 barrel, dan mikroba itu kemudian mati setelah memakan tumpahan minyak tersebut. Sementara itu, Lee & Levy (1991) dalam Swan et al (1994) melaporkan hasil studi mereka tentang penggunaan bioremediasi terhadap tumpahan minyak yang mengandung lilin. Dikatakan bahwa minyak dengan konsentrasi yang rendah (0,3% v/v) dapat terdegradasi oleh bakteri alami; sementara minyak dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3%) lebih resinten (n-C11 bertahan hingga 6 bulan). Pencampuran dengan pupuk pertanian secara nyata telah memperkaya proses. Penambahan nutient telah membantu dalam penghilangan sejumlah hidrokarbon, tetapi faktor pembatas di sini adalah ketersediaan oksigen, dengan demikian penambahan harus terjadi pada lapisan permukaan aerobik.
Peristiwa Exxon Valdez juga telah memberikan kesempatan untuk melakukan percobaan terhadap berbagai metoda biologis untuk memperbaiki akibat tumpahan minyak berskala besar. Pada salah satu test, peneliti secara periodik memberikan pupuk N/P kepada bakteri di pantai. Pada daerah yang lain, sampel bakteri dibawa ke laboratorium, dibiakkan untuk meningkatkan biomassa, kemudian dimasukkan kembali ke daerah sekitar tumpahan miyak. Dari percobaan ini terlihat bahwa metoda ini beresiko rendah karena salah satu suplai makanan bakteri, yaitu pupuk, dapat dihilangkan pada tingkatan mana saja. Tetapi bila ditinjau lebih jauh lagi, dapat beresiko terhadap terjadinya eutrofikasi yang diakibatkan oleh pupuk dan juga kemungkinan keracunan akibat degradasi produk samping, yaitu berupa ammonia dan butoksietanol.

3.2 TEKNOLOGI BERBASISKAN MEMBRAN
Membran merupakan media pemisah yang bersifat selektif permeabel dengan menahan komponen tertentu dan melewatkan komponen lainnya. Proses pemisahan dengan menggunakan membran pada pemisahan fasa cair-cair umumnya didasarkan atas ukuran partikel dan beda muatan dengan gaya dorong (driving force) berupa beda tekanan, medan listrik, dan beda konsentrasi. Proses pemisahan dengan gaya dorong berupa beda tekanan dapat dibedakan menjadi proses reverse osmosis, nanofiltrasi, ultrafiltrasi, dan mikrofiltrasi. Perbedaan ini didasarkan attekanan operasi yang digunakan dan ukuran pori membran. Semakin kecil ukuran pori membran maka tekanan operasi yang digunakan akan semakin tinggi.
Pada umumnya membran yang digunakan pada skala industri terbuat dari material polimer sintetis dengan pertimbangan kestabilan dan ekonomi. Komponen utama dalam sistem pemisahan dengan membran adalah modul membran yang terdiri dari membran itu sendiri sebagai lapisan selektif beserta kontainer (casing) yang akan mengatur aliran fluida masuk dan keluar membran. Konfigurasi modul membran didesain berdasarkan kriteria yang menyangkut proses pemisahan, packing density, manajemen fluida, kemampuan menampung padatan tersuspensi, kemampuan untuk dicuci dan diregenerasi, dan kemudahan untuk diganti.
Secara umum, aplikasi teknologi pemisahan berbasiskan membran untuk pengolahan limbah dapat dilihat pada 


Beberapa proses yang menyangkut proses pemisahan dengan membran dalam pengembangan bidang bioteknologi kelautan umumnya berkaitan dengan membran sebagai media pemisahan molekuler dalam skala besar. Teknologi membran dalam bioteknologi kelautan dapat diaplikasikan secara khusus dalam hal:
1. Pemisahan padatan mikroskopis dan koloid dari larutan suspensi dengan menggunakan mikrofiltrasi.
2. Pengkonsentrasian partikel terlarut dari larutan yang encer dengan menggunakan nanofiltrasi atau reverse osmosis.
3. Fraksionasi campuran makrosolut dari larutan dengan menggunakan ultrafiltrasi.
4. Penghilangan partikel-partikel pengotor /bahan pencemar dalam umpam maupun produk dengan menggunakan ultrafiltrasi ataupun reverse osmosis (Wenten dan Adityawarman, 1999).
3.2.1 M i n y a k
a. Pengolahan Limbah Pada Kilang Minyak
Berbagai unit sistem pengolahan limbah ini telah dibangun dan terus dikembangkan untuk mendapatkan teknologi-teknologi baru yang dapat menghilangkan komponen-komponen yang terkandung di dalam limbah. Membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi kini sedang dievaluasi untuk menghilangkan tetes-tetes minyak serta padatan kolloid atau padatan tersuspensi lainnya. Menurut Swan et al (1994), teknologi ini cukup menjanjikan, tapi mungkin masih agak sulit dan cukup mahal bila diterapkan untuk pengolahan rutin karena besarnya jumlah limbah yang akan diolah.
b. Pengolahan Air yang Terkontaminasi Oleh Minyak
Hidrokarbon minyak merupakan kontaminan utama pada permukaan air. Dampak dari tumpahan atau buangan hidrokarbon lainnya, produk-produk minyak bumi, dan minyak mentah sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik-kimia hidrokarbon itu sendiri. Konsentrasi dari berbagai komponen yang terlarut bergantung pada komposisi minyak, temperatur, salinitas air, dan pada perbandingan volume air-minyak yang bercampur.
Sebuah studi telah dilakukan untuk mengolah air yang terkontaminasi oleh minyak dengan menggunakan membran ultrafiltrasi. Mekanisme pemisahan utama adalah penyaringan selektif (selective sieving) melalui pori-pori membran. Garam-garam terlarut, zat-zat non-ionik, dan partikel-partikel kecil (< 0.1 μ) akan melewati membran semi-permeabel pada fasa cair, sementara padatan yang lebih besar akan tertahan dan memekat.
Studi dilakukan dengan menggunakan air payau yang mengandung kadar padatan terlarut 10.000 mg/l. Air tersebut dikontaminasi dengan campuran minyak dengan konsentrasi 3000 ppm dalam botol berisi 1 liter air. Untuk mendapatkan kesetimbangan antara fasa air dan minyak, botol diputar selama 24 jam dalam rotator mekanis.
Membran ultrafiltrasi yang dipakai adalah membran TFC seri-G dengan aliran silang (cross flow ) yang kontinu; dibuat oleh Desalination System, Inc. (DSI). Unit ini mempunyai tekanan operasi 200 psig (13,8 bar) dan temperatur 400C yang dapat dioperasikan secara paralel baik dengan 2 membran maupun 1 membran. Masing-masing membran mempunyai luas 12 in2 dengan range MWCO 1.000-15.000. Membran yang telah dipakai dapat dibersihkan dengan menggunakan Flocon (IPA 411) untuk menghilangkan foulants yang menutupi permukaan membran.
Untuk mengurangi fouling, maka terlebih dahulu air dikoagulasi dengan menggunakan Cat floc K-10. Mekanisme utamanya adalah dimana koagulasi dapat memisahkan kontaminan organik termasuk langkah destabilisasi kolloid dan pengendapan. Destabilisasi kolloid memungkinkan terpisahnya kolloid dengan terbentuknya flok-flok yang lebih besar sehingga dapat dengan mudah diendapkan atau disaring.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa pra-koagulasi dapat menyebabkan menurunnya laju fouling dan luas dari irreversibel fouling serta meningkatkan waktu fouling. Lebih penting lagi, pra-koagulasi ini juga dapat menaikkan mutu air yang dihasilkan. Selain itu, sampel yang dikoagulasi mempunyai laju fluks yang lebih tinggi dibandingkan sampel yang tidak dikoagulasi. Pada sampel yang dikoagulasi, partikel-partikel kolloidnya lebih membentuk lapisan konsentrasi polarisasi di permukaan membran (reversible fouling) daripada berdifusi ke dalam pori-pori membran (irreversible fouling). Minimisasi fouling akan meningkatkan umur membran dan menekan biaya operasi (Tansel et al, 1995).
3.2.2 Penghilangan Logam Berat
Proses membran dengan modul tubular cross-flow Memtek dirancang untuk menghilangkan kontaminan yang mengendap dari limbah industri. Membran yang diproduksi oleh Wheelabrator Engineered System ini telah dipasang sebanyak 200 unit di seluruh dunia dengan tujuan utama menghilangkan logam-logam berat hingga kadar yang diizinkan. Sistem ini beroperasi dengan mengolah limbah yang sebelumnya telah diolah lebih dulu dengan bahan kimia lalu dimasukkan ke tangki konsentrat, darimana air dipompakan secara kontinu melalui bagian dalam membran tubular dengan kecepatan tinggi. Pada tekanan operasi normal 3,5 bar, air bersihnya keluar melalui pori berukuran 0,1 mikron; sementara padatan yang mengendap tetap tinggal di dalam loop resirkulasi yang diumpankan kembali ke tangki konsentrasi. Turbulensi dari slurry yang diresirkulasi dan sistem backpulsing mencegah padatan terakumulasi di permukaan membran (Anonim, 1995).
Sementara itu, logam berat selenium umumnya terdapat bersama dengan senyawa sulfur atau sulfida. Selenium ini terdapat dalam limbah pengilangan minyak dan pusat pembangkit listrik Berbagai teknik pengolahan dilakukan untuk menghilangkan selenium, di antaranya pengendapan dengan kapur, adsorpsi pada
 alumina teraktivasi, reverse osmosis, ion exchange, dan reduksi kimia (Stoner, 1994).
Sedangkan untuk menghilangkan logam-logam seperti cadmium, tembaga, kromium, dan nikel dari limbah industri pelapisan logam, dapat dipakai reverse osmosis. Operasi dilakukan pada tekanan 200-300 psi (13.6-20.4 atm).
3.2.3 Aplikasi Teknologi Membran Yang Lain
a. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi mempunyai bidang penerapan yang luas dalam teknologi membran. Dalam pengolahan limbah, ultrafiltrasi diterapkan untuk limbah yang mengandung beban organik tinggi dan turbiditas tinggi sehingga diperoleh filtrat yang dapat dibuang dengan mudah. Dalam banyak kasus, konsentratnya dapat diolah lebih jauh dengan evaporasi atau pembakaran sebelum dibuang.
Flok-flok hidroksida yang dihasilkan selama proses flokulasi dapat dengan mudah dihilangkan dengan ultrafiltrasi. Logam-logam yang berguna dapat diperoleh dari larutan pekatnya. Untuk pemisahan flok dari sistem pengolahan limbah secara biologis dengan menggunakan lumpur aktif, penggunaan tangki pengendap konvensional yang membutuhkan lahan yang luas, dapat digantikan oleh ultrafiltrasi (Heitmann, 1990).
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa budidaya laut (mariculture), yang membutuhkan air segar, dapat terpolusi dengan sendirinya karena sisa-sisa pakan. Ultrafiltrasi dapat digunakan dalam mengurangi ketergantungan air laut segar pada tambak sistem tertutup (closed loop recycle pond ) yang disebabkan karena kondisi air tambak yang relatif jenuh atau tercemarnya perairan pantai tanpa menghentikan siklus budidaya. Ultrafiltrasi dalam sistem ini berfungsi untuk mengurangi pengotor-pengotor dalam air tambak seperti sisa metabolisme dan bakteri patogen dimana air tambak yang bebas pengotor dapat dimasukkan kembali ke dalam tambak (Wenten dan Adityawarman, 1999).
b. Reverse Osmosis
Reverse osmosis dapat menghilangkan kandungan senyawa organik dan anorganik dari air. Konsentratnya dapat terus di-up-grade sampai kadar tertentu sehingga zat-zat yang terlarut dapat di-recovery secara ekonomis. Air yang telah diolah kemudian dapat digunakan untuk kebutuhan produksi. Dengan menggunakan proses ini, masalah suplai air, pengolahan air, dan recovery zat-zat yang berguna dapat diatasi sekaligus.
Umumnya reverse osmosis digunakan untuk mendapatkan air bersih untuk berbagai kebutuhan terutama air minum. Reverse osmosis mengurangi kandungan garam, karbonat, total hardness, sulfat, dan nitrat dari air umpan. Zat-zat yang tidak terlarut dalam air juga dihilangkan seperti kolloid dan bakteri. Selanjutnya permeat dapat dicampur lagi dengan air umpan. Proses ini merupakan proses yang murah untuk memproduksi air minum dengan kandungan garam yang rendah.
Di sektor industri juga terdapat banyak kemungkinan penggunaan reverse osmosis, seperti pengolahan air untuk umpan air ketel dan air pendingin, untuk mendapatkan air murni yang dipakai dalam pembuatan suatu komponen, atau produksi air desalinasi untuk industri farmasi. Reverse osmosis juga diterapkan untuk pembersihan air setelah dipakai dalam industri, misalnya untuk menghilangkan logam-logam berat. Banyak masalah recovery untuk mendapatkan bahan yang berharga dalam efluennya menggunakan reverse osmosis, dimana larutan dipekatkan kemudian bahan kimia yang berharga dapat diambil dan diumpankan kembali ke sistem.Selain itu, reverse osmosis juga dapat digunakan untuk desalinasi, misalnya air dari menara pendingin. Dalam hal ini, air hasil desalinasi dapat diumpankan ulang ke sistem resirkulasi. Air yang dihasilkan dapat digunakan kembali untuk proses industri dan konsentratnya diolah lagi dalam unit tambahan sehingga dapat dibuang ke badan air (Heitmann, 1990). Dengan demikian, terlihatlah bahwa penerapan reverse osmosis dapat mengurangi beban limbah dari industri.
PERBANDINGAN TEKNOLOGI MEMBRAN TERHADAP TEKNOLOGI KONVENSIONAL
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa beberapa teknologi konvensional yang dipakai pada proses pengendalian pencemaran mempunyai berbagai kelemahan di antaranya:
• memerlukan bahan kimia ataupun mikroba, sehingga membutuhkan biaya yang lebih tinggi,
• membutuhkan tempat yang lebih luas (untuk beberapa proses),
• menimbulkan beberapa pengaruh buruk seperti eutrofikasi, produk samping yang berbahaya, serta dapat pula menjadi polutan baik bagi laut maupun udara.
Teknologi pemisahan berbasiskan membran pada saat ini semakin terlihat atraktif sebagai alternatif pengganti proses-proses konvensional. Sekalipun penerapan teknologi membran yang ada sekarang belum mencakup semua bidang penerapan dari teknologi konvensional, seperti penanggulangan langsung tumpahan minyak di laut. Namun, teknologi ini mempunyai beberapa keunggulan yakni antara lain:
• pemisahan komponen-komponen dapat dioperasikan pada temperatur kamar sehingga dapat mencegah kerusakan pada produk-produk yang sensitif terhadap temperatur tinggi,
• konsumsi energi dan bahan kimia aditif yang cukup rendah,
• tidak menghasilkan produk samping berupa limbah, dan 
• bersifat modular dan kompak sehingga mudah dikembangkan dengan tidak memakan tempat yang luas.
Sedangkan beberapa kelemahannya antara lain:
• polarisasi konsentrasi, hal ini dapat diatasi dengan pengaturan fluida dan hidrodinamika sistem membran, dan
• fouling yang dapat di atasi dengan melakukan pencucian dan metode regenerasi seperti backwash (Wenten dan Adityawarman, 1999).
Dari sudut pandang ekonomi dan tingginya kualitas produk hasil, pemisahan dengan membran terlihat sangat potensial untuk digunakan dalam perkembangan bioteknologi kelautan dalam skala industri baik untuk proses baru maupun untuk menggantikan proses konvensional. Dengan dikembangkannya metode regenerasi membran seperti backshock maka kendala-kendala dalam pengoperasian membran dapat dikurangi dan akan meningkatkan jumlah produk.
PENUTUP
Permasalahan pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut merupakan isu yang penting untuk ditangani mengingat besarnya ketergantungan terhadap sumber daya pesisir dan laut serta luasnya dampak yang diakibatkan pencemaran tersebut. Untuk itu perlu dilakukan langah-langkah pencegahan dan penanggulangan terhadap berbagai kegiatan yang dapat memacu terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan laut.
Masalah utama yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan laut adalah pembungan limbah yang tidak terolah sempurna atau bahkan tidak diolah sama sekali ke perairan laut. Limbah tersebut berasal dari berbagai kegiatan baik yang berlangsung di darat maupun di laut; berasal limbah industri ataupun domestik; yang sampai ke lingkungan laut baik karena kegiatan operasional rutin maupun karena kecelakaan.
Berbagai sarana pengolahan limbah dibangun dan terus dikembangkan dengan menggunakan bermacam teknologi dan metoda. Di antara teknologi yang cukup atraktif dan sudah diaplikasikan secara luas adalah teknologi yang berbasiskan membran. Teknologi ini mempunyai beberapa keunggulan di antaranya tidak membutuhkan tambahan bahan kimia yang besar dalam prosesnya sehingga tidak menambah masalah pencemaran yang baru. Beberapa jenis membran telah dipakai dalam proses pengolahan limbah seperti reverse osmosis, ultrafiltrasi, dan mikrofiltrasi.

DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rachmat Benny, 1999, Kebijaksanaan, Strategi, dan Program Pengendalian Pencemaran dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
Anonim, 1987, Perubahan Lingkungan dan Pengaruhnya, dalam Majalah Tanah Air No. 75 Th.XII, Agustus-September 1987.
Anonim, 1995, Membrane Filtration System, dalam Water & Environtment Vol.4 No.32, Januari 1995.
Anonim, 1996, Sophisticated Separation, dalam Water & Environtment Vol.5 No.43, Januari 1995.
Charade, Titi Heri Subandri, 1983, Sekali Lagi Tentang Penanggulangannya : Pencemaran Air Akibat Industri Minyak, dalam Harian Pikiran Rakyat, edisi 15 Mei 1983.
Eckenfelder Jr., W.Wesley, 1989, Industrial Water Pollution Control, 2nd edition, Singapore: McGraw Hill International Editions.
Heitmann, Hans-Gunter, 1990, Saline Water Processing, Weinheim-Jerman: VCH Verlagsgesllschaft.
Made, 1989, Pengaruh Logam berat Bagi Lingkungan, dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 25 Januari 1989.
Mannion, A.M. dan Bowlby, S.R., 1992, Environtmental Issues in the 1990’s, England: John Wiley & Sons.
Pramudianto, Bambang, 1999, Sosialisasi PP No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Prosiding Seminar Sehari Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut, Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
2002 digitized by USU digital library 16
Scott, Keith, 1995, Handbook of Industrial Membrane, Edisi 1, USA: Elsevier Advanced Technology.
Siahaan, N.H.T, 1989a, Pencemaran Laut dan kerugian yang Ditimbulkan (I), dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 8 Juni 1989.
Siahaan, N.H.T, 1989b, Pencemaran Laut dan kerugian yang Ditimbulkan (II), dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta: 9 Juni 1989.
Stoner, Daphne L., 1994, Biotechnology for The Treatment of Hazardous Waste, USA: Lewis Publisher.
Sumadhiharga, Kurnaen, 1995, Zat-Zat yang Menyebabkan Pencemaran di Laut, dalam Jurnal Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia: Lingkungan dan Pembangunan 15 (4), 376-387.
Swan, J.M., Neff, J.M., dan Young, P.C., 1994, Environtmental Implications of Offshore Oil and Gas Development in Australia - The findings of an independent scientific review, Sydney-NSW: Australian Petroleum Aexploration Association Limited.
Tansel, Berrin, Regula, Jayadev, dan Shalewitz, Robert, 1995, Treatment of Fuel Oil and Crude Oil Contaminated Waters by Ultrafiltration Membranes, dalam Jurnal Desalination 102 (1995) 301-311.
Wenten, I.G., dan Adityawarman, D., 1999, Prospek PemanfaatanTeknologi Membran dalam Bidang Bioteknologi Kelautan, Bandung.